Selamat Datang di deSmarter's Blog "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang"

Kamis, 27 November 2014

Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia



A. Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia
1.Kedatangan Bangsa Barat dan Lahirnya VOC
Ada faktor yang mendorong orang-orang Portugis mencari sendiri jalan yang menuju ke kepulauan rempah-rempah. Pertama adalah faktor ekonomi, kedua adalah faktor agama, dan yang ketiga ialah faktor petualangan. Usaha untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya dari perdagangan di Eropa. Sudah semenjak lama rempah-rempah menjadi bahan berharga dlam kehidupan sehari-hari orang Eropa. Ungkapan “semahal lada” di Barat, menggambarkan betapa tingginya nilai rempah-rempah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian barangsiapa yang berkesempatan menjadi penyalur barang perdagangan itu akan menikmati laba yang besar. Lebih-lebih apabila orang dapat memperolehnya langsung dari tempat asalnya, maka keuntungan yang berlipat-ganda akan dapat diraihnya. Sebagai penyalur rempah-rempah yang datang dari Dunia Timur ke Dunia Barat, orang Portugis merasa tertarik untuk mencari sendiri jalan yang menuju ke tempat yang menggiurkan itu. Itulah asal-mula penetrasi atau penerobosan orang Barat ke Dunia Timur melalui kesukaran-kesukaran yang sangat hebat.

Dengan di landasi oleh semangat perang salib dan jiwa petualangan, keinginan orang Portugis untuk mengejar keuntungan ekonomi itu dapat terlaksana. Dengan jalan menyusuri pantai barat Afrika ke selatan, kemudian membelok ke pantai timur Afrika dan siteruskan kea rah utara, orang Portugis mulai menemukan jalan terbuka yang menuju ke Dunia Timur. Pada waktu mereka sampai di Malindi mereka berjumpa dengan pedagang-pedagang Islam yang telah berabad-abad menguasai perdagangan antar Kepulauan Indonesia, daerah Persia dan daerah Laut Merah. Mereka mengetahui bahwa kerajaan-kerajaan Islan yang ada dalam jalur perdagangan itu menjadi kaya oleh karena menguasai rempah-rempah dari Indonesia.
Semangat perang salibnya mendorong Portugis untuk berusaha mematahkan, pedagang Islam dalam menguasai bahan perdagangan dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah. Mereka tidak kenal kompromi. Setiap kali berjumpa dengan kapal pedagang-pedagang Islam, orang-orang Portugis berusaha untuk menghancurkannnya. Oleh karena itu bentrokan bersenjata antar kedua golongan yang berbeda agama maupun berlawanan kepentingan itu tidak dapat dihindarkan. Dalam menghadapi lawannya yang tangguh itu, orang Portugis mencari persekutuan dengan raja-raja Asia yang tidak beragama Islam.
Di Goa (India) orang Portugis berhasil mendirikan kantor dagangnya. Setelah mendengar berita tentang kemakmuran Bandar Malaka, pimpinan orang Portugis yang bernama Albuquerque bermaksud untuk mengadakan hubungan dengan penguasa Bandar tersebut. Malaka pada waktu itu sudah merupakan bandar transito yang ramai dan rajanya telah beragama Islam. Berbagai bangsa ada dalam Bandar itu, termasuk pedagang-pedagang islam dari Gujarat dan Arab. Mereka itu datang mengambil rempah-rempah dan menukarnya dengan bahan pakaian. Rempah-rempah dan hasil bumi lainnya dibawa ke Bandar itu oleh pedagang-pedagang pribumi yang berasal dari Asia Tenggara. Khususnya dari Kepulauan Indonesia.
Berita kehadiran orang Portugis telah sampai pula di bandar Malaka. Sikap terjang dan tujuan orang Portugis dan tujuan orang Portugis sudah di ketahui pula. Dengan demikian bahaya yang mengancam bandar Malaka apabila orang Portugis datang juga sudah disadari oleh Sultan Malaka maupun oleh pedagang-pedagang islam umumnya. Oleh karena itu utusan Portugis yang datang ke Malaka pada tahun 1509 untuk menyampaikan surat-surat kepercayaannya kepada Sultan, tidak diterima. Sultan Mahmud Syah enggan berhubungan dengan orang Portugis stetlah mempertimbangkan untung ruginya. Dengan penolakan itu, orang Portugis memutuskan untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan senjata. Mereka mengirimkan armada yang unggul pada tahun 1511 Malaka berhasil direbut.
Saat Malaka jatuh ke tangan musuhnya, orang Portugis, pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke pelabuhan–pelabuhan lain. Dengan jalan demikian mereka dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Penyaluran rempah-rempah dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tetap dapat dikuasai, sekalipun harus menghadapi serangan-serangan orang Portugis.
Petualangan orang Portugis tidak berhenti di Malaka. Mereka meneruskan usahanya untuk sepenuhnya menguasai perdagangan rempah-rempah dengan mengadakan pelayaran kea rah timur yaitu ke kepulauan Maluku. Dalam perjalanannya ke Maluku, mereka singgah di pelabuhan Gresik. Dan akhirnya tiba di Banda, disana mereka membeli pala, cengkeh, dan fuli. Bahan-bahan itu ditukar dengan bahan pakaian dari India. Kedatangan Portugis di Maluku merupakan faktor baru dalam hubungan-hubungan antara daerah-daerah Indonesia. Mereka dapat memanfaatkan persaingan-persaingan setempat untuk memperkuat kedudukannya sendiri. Misalnya ketika orang Portugis datang ke Maluku. Hitu dan Seram sedang bersengketa dan orang Portugis memihak Hitu. Kedatangan mereka di Ternate diterima baik, sebagai sekutu menghadapi kerajaan Indonesia lainnya. Hubungan perdagangan antara Portugis dan Ternate terjalin untuk beberapa lama. Tetapi karena orang Portugis diminta untuk membantu Ternate dalam menghadapi musuhnya. Maka mereka menuntut imbalan. Mereka mengajukan tuntutan untuk mendapat ijin monopoli perdagangan cengkeh. Dengan ijin monopoli itu maka semua cengkeh dari rakyat Ternate harus dijual kepada mereka. Dengan demikian rakyat kehilangan kebebasannya untuk menjualhasil tanamannya dengan harga yang lebih baik. Remah-rempah harus dijual kepada Portugis dengan harga murah, sedangkan penjualan kepada pedagang lain dilarang. Barangsiapa menentang, ditindak dengan kekerasan senjata.
Pada tahun 1521 orang Spanyol tiba di Maluku. Dengan dua buah kapalnya mereka datang melalui Filipina dan Kalimantan Utara terus menuju Tidore, Bacan dan Jailolo. Di daerah itu mereka diterima dengan baik. Tetapi bagi orang Portugis mereka dianggap saingan yang akan mengancam monopoli perdagangan rempah-rempah yang telah dipegangnya. Karena itu orang Spanyol diserang oleh mereka. Karena kalah kuat, maka orang Spanyol tidak lama berdagang di Maluku. Kapal-kapal mereka berlayar di kepulauan tiu hanya sampai tahun 1534. Baru pada awal abad 17 ketika kekuatan Portugis telah mundur, kapal Spanyol berlayar kembali di perairan Maluku.
Jejak orang Portugis ke Indonesia pada akhirnya diketahui oleh orang-orang Eropa lainnya. Pada akhir abad 16 dan awal abad ke 17 orang Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis telah datang pula ke Indonesia. Tidak berbeda dengan orang Portugis, mereka juga mempunyai maksud yang sama. Mereka masing-masing juga bermaksud untuk memaksakan monopoli perdagangan, menguasai bahan-bahan perdagangan yang penting di Indonesia seperti rempah-rempah. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kedatangan mereka menambah ketegangan. Selain mengadakan persaingan di antara mereka sendiri, mereka semuanya mencoba memaksakan kehendaknya kepada para penguasa pribumi.
Pada tahun 1596 orang Belanda berhasil tiba di Banten. Mereka berangkat pada tahun 1595 dengan empat buah kapal dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dan selama empatbelas bulan mengarungi lautan. Semula kedatangan mereka di Banten di sambut baik oleh para penguasa setempat. Orang Belanda mula-mula menunjukkan siakp bersahabat dan kemudian melakukan perjanjian dagang dengan Banten. Tetapi akhirnya orang Belanda memperlihatkan keserakahannya dan ingin mengejar keuntungannya sendiri. Hal itu menyebabkan mereka di musuhi oleh orang Banten sehingga terpaksa menyingkir. Pada tahun 1598, mereka tiba untuk kedua kalinya di Banten. Karena sikap mereka yang baik, mereka di terima dengan baik pula di daerah lain, seperti di Tuban dan di daerah Maluku. Di Ternate malahan mereka di terima baik sekali, karena kebetulan Ternate sedang bermusuhan dengan orang Portugis dan Spanyol. Dengan modal sikap yang baik kehadiran mereka yang kedua itu telah membawa keuntungan yang besar, karena dapat memuati kapalnya dengan bahan-bahan perdagangan yang banyak sekali.
Untuk dapat menang dalam persaingannya dengan orang Eropa lainnya, maka pada tahun 1602 orang Belanda mendirikan serikat dagang yang di sebut Vereenidge Oost-Indische Compagine (VOC) yang berarti Kompeni Serikat Hindia Timur. Dengan serikat dagangnya itu orang Belanda setapak demi setapak mampu menyaingi orang Portugis dalam monopoli perdagangan rempah-rempah. Pada mulanya VOC menunjukkan sikap bersahabat terhadap penguasa-penguasa pribumi bagi orang Belanda penting. Tetapi pada akhirnya sikap orang-orang VOC berubah dan mereka mulai membuka kedoknya. Maksud-maksudnya juga semakin jelas. VOC tidak lagi puas dengan keuntungan biasa dalam perdagangan, melainkan ingin melaksanakan monopoli perdagangan untuk menggaruk laba secara maksimal. Untuk mencapai itu perlu dipergunakan kekuatan militer. Mereka tidak segan-segan menanamkan kekuasaannya secara fisik terhadap kerajaan-kerajaan Indonesia yang tidak mau mengakui monopolinya. Arah politik yang demikian itu mulai tampak jelas semenjak J.P Coen menjadi Gubernur Jenderal (1619).
Jayakarta di rebut oleh VOC dari tangan Pangeran Wijayakrama dalam perang yang berlangsung pada sekitar tahun 1618-1619. Banten dan Mataram tidak tinggal diam, karena wilayahnya terancam juga, terlebih-lebih Sultan Agung dari Mataram yang pada saat itu sedang meluaskan kekuasaanya atas seluruh Jawa. Tindakan VOC dianggap mengancam kekuasaannya. Reaksi Mataram semakin meningkat setelah VOC mulai berusaha untuk memaksakan monopolinya di daerah pesisir utara Jawa. Pada tahun 1628 dan 1629 Mataram melancarkan serangan secara besar-besaran terhadap Batavia (yaitu nama yang di terima orang Belanda setelah Jayakarta di dudukinya)
Reaksi yang sama juga di berikan oleh daerah-daerah lain. Pada tahun 1666-1669 di Sulawesi Selatan timbul pula perlawanan terhadap VOC. Di Jawa pada tahun 1686-1703 berkobar perang melawan musuh yang sama di bawah Untung Surapati. Banten di bawah kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1682) mengobarkan perang melawan VOC. Pendek kata selama abad ke-17 dan 18 usaha-usaha VOC untuk memperluas kekuasaannya di daerah Indonesia tidak berlangsung dengan tenang, melainkan dengan menghadapi tantangan dan perlwanan.
2.Keseimbangan Perang Dan Perdagangan Yang Beralih
Dalam tahun 1702, VOC, kompeni yang tiada taranya ini, yang sejak didirikannya telah menghasilkan pembendaharaan yang tiada terbilang dari ujung yang paling jauh di dunia ke dalam Persatuan Provinsi-provinsi Belanda mencapai ulang tahunnya yang keseratus. Dapat dimanfaatkan, kalau Heren XVII merayakan peristiwa ini dengan rasa bahagia tertentu, rohani dan jasmani. Pada penampilan luar, Loffelyche Compagnie (kompeni yang terpuji) ini sebelumnya tidak pernah demikian makmur dan perkasa. Kemakmuran niaganya dibuktikan dengan tibanya dengan selamat tujuh belas buah kapal Hindia yang kaya muatan, kendatipun perang yang baru pecah dengan Perancis dan Spanyol.
Dapat kita lihat dengan tinjauan kebelakang, bahwa VOC sebenarnya telah melampaui puncaknya dan bahwa kemundurannya telah dimulai. Terlihat dengan turunnya mutu-mutu kapal maupun para pelaut. Kapal-kapal menjadi lebih besar, tetapi kurang bisa digerakan. Lebih menggelisahkan dan agak sulit diatasi adalah kesukaran memperoleh jumlah anggota pelaut yang mampu dalam jumlah memadai. Lebih gawat lagi selama per empat terakhir dari abad ketujuh belas, kapal-kapal makin bertambah berisikan anak buah orang asing, dan banyak yang melakukan desersi ke pihak Inggris, terutama daerah Bengala.
Beberapa tahun sebelumnya Heren XVII telah mereka peringatkan akan praktek-praktek para calo yang merekrut pelaut untuk masuk dinas Kompeni. Yaitu, dengan memajukan seorang yang fisik tegap tetapi didaftarkan dengan nama lain,yang lalu diganti dengan orang lain yang muncul dikapal pada waktu apel, yaitu orang yang sebenarnya nama itu tapi, fisik kurus kering dan loyo. Profesor Milo dalam tahun 1946 menyatakan bahwa prestasi-prestasi yang mengecewakan dari kapal-kapal VOC dan para nahkodanya terhadap eskader Prancis yang jauh lebih kecil tetapi mendapat pelayanan yang lebih baik dalam tahun 1696 jelas membuktikan kehilangan norma. Kapal-kapal EIC sekarang melayari rute pergi dan pulang lebih cepat daripada kapal-kapal Belanda, sehingga yang disebut terdahulu lebih rendah angka kematiannya. Seperti juga dalam dekade-dekade sebelumnya, sekali ikatan-ikatan disiplin menjadi longgar sebagai akibat kapal karam, maka para perwira pun bisa kehilangan kendali atas anak buah mereka.
Walaupun Belanda dengan Inggris bersekutu terhadap Prancis di Eropa sejak 1689, persaingan perdagangan mereka di Timur berlanjut. Dalam suatu ledakan khas dari Batavia, Gubernur Jenderal dan Dewannya memberitahukan Heren XVII dalam bulan Desember 1688, bahwa agresi Inggris dan tindakan sewenang-wenang telah menjadi tak dapat dibiarkan sama sekali. Mereka mengeluh, bahwa malahan di Batavia sekalipun, dimana orang Inggris seharusnya hanya mengharapkan agar diterima sementara saja dengan ramah, tindakan mereka seolah-olah mereka yang memiliki tempat itu, dengan menghina serta menghasut pejabat-pejabat maupun warga-warga kota, tanpa memperdulikan akan kedaulatan Belanda.
“Keranjingan India” tahun 1690 telah membanjiri Inggris dengan begitu banyak belacu impor dan tekstil Asia lainnya, hingga industri wol yang penting sangat terpukul.  Pada tahun 1697, VOC mengimpor dari Asia barang-barang seharga beli 5,4 juta gulden. Para penenun dan industrialis tekstil Belanda tidak memiliki cara pukulan politik dari rekan-rekan Inggrisnya. Tidak ada pembatasan-pembatasan hukum yang dikenakan terhadap penggunaan kain dan tekstil timur di negeri Belanda Utara. Tetapi oleh EIC, seperti juga oleh VOC sebagian besar impor-impor dari Timur dire-ekspor. Peralihan yang menentukan dalam sifat ekspor-ekspor ke Eropa lewat Tanjung Harapan terjadi dalam masa 1680-1690. VOC dan EIC tidak lagi memusatkan diri pada bahan-bahan mentah (seperti merica, nila, dan rempah-rempah) dan barang-barang kasar, tetapi pada tekstil-tekstil dan buatan pabrik yang lebih halus dan kain-kain tenunan.
“Gila India” di Eropa dari abad ke tujuhbelas akhir disusul oleh “Gila Cina” pada abad ke delapanbelas walaupun agak beda bentuknya. Perdagangan Cina merupakan tujuan pokok bagi VOC dan EIC, karena mereka ingin bersaing dengan orang Portugis di Macao dan orang Spanyol di Manila dalam menyadap harta kekayaan Kerajaan Cina yang semarak. Perdagangan luar negeri Cina bertambah secara hebat dan VOC serta EIC termasuk di antara penerima keuntungan yang utama. kompeni Belanda tidak mengatur perdaganganna dengan Cina menurut cara yang sama seperti yang dilakukan oleh saingan Inggrisnya. Karena perbedaan-perbedaan pendapat antara Heren XVII dan pemerintah di Batavia, perdagangan langsung dari negeri Belanda ke Kanton. Pelayaran-pelayaran Belanda langsung dari Batavia ke Kanton dimulai pada tahun 1734. Tetapi walaupun perdagangan VOC dengan Cina mengalami tahun-tahun emasnya, tidaklah ia benar-benar dapat menentang dominasi EIC di Kanton untuk masa lama. Dapat ditambahkan bahwa penyelundupan teh Cina dari Zeeland ke Inggris sebelum undang-undang pergantian Pitt tahun 1734, memberikan garis samping yang menguntungkan bagi kaum kapitalis Belanda yang membiayainya.
Disamping menetapkan pimpinan yang menentukan dalam perdagangan Cina, EIC lambat laun juga makin mendapat pengaruh daripada VOC di sebagian besar cabang perdaganganb dengan India, walaupun hanya dalam tempat-tempat tertentu. VOC selama masa yang panjang bisa memperoleh keuntungan keuntungan-keuntungan yang baik dari penjualan rempah-rempah Malukunya di Surat. Ada perbedaan pendapat di kalangan Heren XVII dalam tahun 1702-1703, mengenai apakah keuntungan tidak akan lebih besar pula lagi bila harga penjualan direndahkan dari volume penjualan jadinya bertambah. Kesibukan VOC untuk mempertahankan harga-harga yang tinggi bagi rempah-rempah Maluku di Surat, menyebabkan Belanda mengabaikan pemasaran komoditi-komoditi lain di barat laut India, hingga akhirnya menguntungkan saingan-saingannya orang Inggris yang lebih berupaya.
Perdagangan kopi di Mocha merupakan contoh yang lain bagi kita mengenai persaingan sengit yang terjadi antara VOC dan EIC. Disini pun perjuangan berangsur-angsur jadi menguntungkan orang Inggris yang membeli kopi yang mutunya lebih bagus di Arab dan men jualnya lebih murah di Eropa. Sedikit banyak kegagalan Belanda di Mochca diimbangi oleh usaha mereka yang sangat berhasil memasukan tanaman kopi di Jawa. Heren XVII tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan kopi Jawa di Eropa. Di sini popularitasnya dinyatakan oleh pendeta Franqois Valentijn pada tahun 1726. Dia mengeluh bahwa kopi sudah menjadi begitu umum disukai hingga pelayan-pelayan wanita serta penjahit kini tidak mau memasang benang pada jarumnya sebelum menikmati kopi paginya. Kaum Muslim di India Barat dan Persia di pihak lain tetap lebih menyukai jenis Arabnya, dan menganggap kopi Jawa kurang bermutu. Ketika hal ini dikemukakan oleh pemerintah di Batavia kepada Heren XVII, reaksi tuan-tuan itu pada masam. Kedua jenis mereka coba dalam beberapa kesempatan, dan mereka menyatakan bahwa menurut pikiran mereka tak ada seorang pun didunia yang memiliki lidah yang begitu tahu selera, hingga dapat membedakan kopi Jawa dengan kopi Mocha.
Para pesaing Eropa ini tidak terbatas pada orang-orang Inggris dan orang Prancis, tetapi dalamnya termasuk juga sekumpulan campuran macam-macam orang yang dikenal sebagai orang Ostende. Kegiatan mereka terutama di Bengala dan Cina, menimbulkan amarah VOC maupun EIC dan para pengurusnya mengajak pemerintah masing-masing melalui kegiatan diplomatik bersekongkol menghadapi saingan-saingannya yang tidak disukai ini. Persaingan orang Denmark dan Swedia di Asia tidak begitu menjadi perhitungan, walaupun tidak dapat diabaikan dalam perdagangan Cina yang berkembang di Kanton.
Gejala yang sangat mencolok dari kehidupan Afrika Selatan pada masa itu adalah caranya kaum imigran dari berbagai bagian Eropa berbaur dengan populasi yang ada dan membentuk koloni Belanda yang homogen. Di Cape Town wanita kulit putih jauh lebih banyak daripada di permukiman VOC yang lain, maka pergaulan antar ras dengan gadis-gadis budak dan wanita-wanita Hottentot tidak banyak terjadi daripada keadaan yang diperkirakan. Di Indonesia, dimana kekurangan wanita kulit putih mengakibatkan percampuran ras dalam ukuran yang lebih banyak. Pendeta Valentijn dalam setahun kedatangannya memberikan pendapat yang tidak enak dalam tahun 1706 yaitu “nyaris tidak ada seorang Belanda pun yang terpandang di Jawa, yang tidak memiliki gundik cara hidup yang tercela, dan sedikit sekali memberikan dorongan kepada pribumi untuk masuk agama kita. Tetapi mayoritas kaum “Indo”, demikian mereka yang diketahui mempunyai leluhur kulit putih jadinya disebut, masih dianggap sebagai warga kelas dua, hampir sama dengan kaum Mestizo dari Spanyol baru, atau orang India-Inggris di Calcutta, Madras, dan Bombay. Mereka menglami perlakuan diskriminasi secara sosial, dan sesungguhnya juga secara hukum, dan hanya sedikit dari mereka yang dapat menduduki jabatan-jabatan yang tertinggi.
Dalam tahun 1736, Kompeni Inggris mengimpor merica ke London, sama banyaknya dengan yang diterima oleh kompeni Belanda dari seluruh Indonesia. Kepentingan yang sesungguhnya dari penaklukan Banten oleh VOC adalah bahwa hal ini mencekik pembangunan armada dagang pribumi, yang diusahakan oleh sultan membangunnya dengan bantuan para pedagang dan pelaut Eropa, yang melayarkan kapal-kapalnya sampai-sampai ke Manila dan Madras. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan kesultanan Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740.
Imigrasi orang Cina secara ilegal terus bertambah selama empat dasawarsa pertama dari abad kedelapan belas, sementara pemerintah Batavia mengambil sikap yang ragu terhadap orang Cina. Disatu pihak mereka merupakan tenaga kerja yang rajin dan terampil. Di pihak lain, sebagai pedagang, peminjam uang dan pemilik toko, mereka menghisap atau dituduh menghisap masyarakat kulit putih, Indp-Eropa dan pribumi yang lebih miskin. Peristiwa ini selanjutnya mengakibatkan dibunuhnya secara besar-besaran penduduk Cina yang damai dan patuh kepada undang-undang di Batavia oleh orang Belanda, orang Indo-Eropa dan kaum proletar Indonesia, sedangkan pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya, sehingga menyebabkannya meluas ke daerah pedalaman.
Beberapa orang pangeran Jawa sejak semula memihak VOC. Pemberontakan itu akhirnya ditumpas dalam tahun 1743, walaupun beberapa orang pangeran yang membangkang tidak menyatakan takluk tetapi kebanyakan tetap tinggal di bukit-bukit. Pasukan-pasukan militer VOC tidak menunjukan peranan yang hebat dalam perang tahun 1740-1743. Demikian pula pada tanggal 10 Agustus 1741, Martanda Varma, raja Hindu kecil dari Travancore, mengalahkan pasukan Belanda dalam pertempuran Colachel, hingga VOC terpaksa membuang gagasan untuk mendesakkan monopoli merica di Malabar.
Keadaan di persatuan provinsi-provinsi Belanda selama dasawarsa ke empat abad kedelapan belas juga tidak sangat meyakinkan. Bersamaan dengan itu, posisi keuangan VOC semakin menjadi gawat sesudah tahun 1736, dengan pinjaman-pinjaman yang berat guna mempertahankan politik kebijaksanaan dividen tahunannya yang dinggi, dan untuk membayar perlengkapan-perlengkapan tahunan armada Hindia. Kalaupun kompeni masih bisa membuat keuntungan yang banyak pada sebagian besar komoditi yang dijualnya di Eropa, keuntungan-keuntungan dari perdagangan antarpelabuhan di Asia ini dialihkan menjadi kerugian dalam beberapa cabang yang dulunya maju.


2. Runtuhnya VOC
Penyebab keruntuhan VOC sebenarnya menjadi tanda tanya besar dan menjadi suatu perdebatan dikalangan para Sejarahwan. Keruntuhan akibat korupsi ternyata tidak sepenuhnya bisa dijadikan sebagai bukti yang benar-benar mewakili keruntuhan VOC. Dari perdebatan ini kemudian muncul suatu anggapan dari J.C. van Leur dan W. Coolhaas yang menyebutkan bahwa korupsi bukanlah faktor utama penyebab keruntuhan VOC. Kemudian ditegaskan kembali bahwa kongsi dagang Inggris (EIC) pun ternyata mengalami pergulatan korupsi yang hebat di dalam birokrasinya. Hal-hal seperti korupsi, penyuapan, petronase, dan sejenisnya ternyata sudah popular pada zaman itu.
Kasus korupsi di dalam kongsi dagang ini sebenarnya sudah dicurigai oleh para badan pengurus walaupun para abdi yang mengurus kongsi dagang di wilaayah Asia telah mengirim surat tentang kinerja mereka. Sehingga van Diemen dan dewannya mengatakan kepada Hareen XVII bahwa “Dari sini, pastilah tuan-tuan dapat menilai bagaimana tuan-tuan dilayani di Asia, dan betapa banyaknya orang kita yang ingin merampoki kompeni sebagai musuh.  Korupsi ternyata sebagai imbas dari rendahnya gaji pegawai.  Hal ini banyak terjadi di daerah Bengala dan Jepang, sehingga dari keadaan ini menjadikan sebagian besar barang-barang yang dibawa berlayar dari tempat ini lebih banyak barang selundupan.
Sebenarnya suatu langkah pencegahan dengan menurunkan para syahbandar, inspektur pabean, dan pejabat-pejabat lain yang sengaja di angkat sudah dilakukan akan tetapi pada prakteknya mereka pun berkomplot dan membiarkan tindak korupsi ini dengan memperoleh imbalan. Semua usaha pencegahan bertahap pun tidak berjalan dengan lama, hanya sebentar hilang kemudian muncul kembali. Namun suatu kebijakan besar dari Hendrik Zwaardekroon, seorang Gubernur Jendral yang menghukum mati Pieter Elberveld dan pejabat lainnya yang menyelundupkan rempah-rempah. Selain itu juga dia memberikan hukuman ringan pada pejabat tinggi, membebastugaskan beberapa pegawai yang terlibat korupsi.
Korupsi di dalam tubuh VOC sepertiNya sudah menjadi tradisi dan kebiasaan karena setiap pejabat yang pengsiun dari kongsi dagang ini akan menjadi kaya raya. Begitu banyak kasus-kasus penyelundupan yang dilakukan oleh para pejabat-pejabat VOC. Hal ini juga tidak lepas dari bantuan pihak-pihak luar yang dengan sengaja membantu dan terlibat dalam hal ini. Tidak terlepas pula disini peran kerjasama dari aristokrat Jawa dan pejabat-pejabat daerah atau regent(Bupati). Buktinya terjadi suatu “kontrak-kontrak korespondensi” dengan semua Persatuan Provinsi-provinsi Belanda. Sering sekali Heren XVII dan Mahkamah Pengurus melakukan pengangkatan pejabat dinasnya di Asia berdasarkan koneksi keluarga (nepotism), pengaruh dan patronase.
Korupsi di dalam tubuh VOC ternyata telah terjadi semenjak terbentuknya VOC bukan pada akhir-akhir masa tugasnya.  Menurut J.C van Leur kemunduran dan kemerosotan VOC  diperlihatkan juga pada saat menghadapi perlawanan-perlawanan dari daerah-daerah di Indonesia khususnya di Pulau Jawa (Jawa Tengah). Personel militer VOC menunjukan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi serangan dari para pejuang Indonesia. Disini mulai terlihat faktor utama yang menyebabkan kemunduran VOC. Faktor militer dan korps perwira yang dimiliki VOC ternyata sangat kurang dalam segi kualitas. Seperti ada suatu anggapan bahwa “ Serdadu bayaran Belanda adalah makhluk terkutuk yang sama sekali tidak berguna bagi VOC. Hal ini ternyata dibantah oleh Warren Hastings seorang Gubernur Jendral Belanda.
Van Leur mengatakan bahwa buruknya militer Belanda khususnya dalam angkatan laut merupakan faktor utama penyebab kemunduran VOC. Hal ini dibuktikan oleh fakta-fakta bahwa terdapat keluhan tentang pelaut yang tidak berpengalaman dalam kapal-kapal Hindia. Selain itu juga banyak prajurit yang sakit di dalam kapal dan kemudian meninggal. Hal ini membuktikan kondisi fisik dari prajurit VOC sangat buruk. Kurang disiplinnya VOC dalam merekrut para tentara dan prajuritnya menjadikan mereka kesulitan dalam mengarungi samudra untuk membawa barang. Selain itu terdapat fakta yang memperkuat bahwa buruknya angkatan laut dan awak kapal VOC menjadi penyebab utama kehancuran VOC yakni banyaknya kapal-kapal yang karam dan hilang saat pelayaran.
Dikarenakan awak kapal yang buruk kondisi fisik dan kurang berpengalaman dalam mengarungi samudra maka mereka tidak bisa menghadapi kondisi lautan saat badai dan cuaca buruk. Disebutkan bahwa ada beberapa kapal VOC yang hilang dan beberapa lagi gagal berangkat. Kapal Amsterdam misalnya gagal berangkat dua kali karena awak kapalnya banyak yang sakit dan kehilangan semangat. Kapal ini ibaratnya peti mati yang terapung karena setiap hari tidak kurang lima prajurit mati karena penyakitnya. Yang lebih tragis lagi adalah hilangnya kapal Akerendam bersama semua awak kapal dan barang yang diangkutnya. Keadaan lautan yang keras dan penuh rintangan ternyata tidak dapat dihadapi oleh para awak kapal VOC.
Sama halnya dengan yang dialami oleh kapal Hollandia yang juga hilang dalam perjalanannya. Walaupun ketiga kapal yang disebutkan tadi merupakan kapal-kapal yang kuat dan kokoh yang dimiliki VOC akan tetapi tidak ditunjang oleh awak kapalnya. Kapal-kapal ini pun ternyata bermuatan mata uang perak dan juga mata uang emas yang nantinya akan dikirimkan ke beberapa daerah jajahan sebagai pasokan dana. Khusus untuk kapal Hollandia membawa beberapa orang yang kedudukannya penting seperti saudara laki-laki Gubernur Jendral Baron van Imhoff dan dua orang wanita keluarga bangsawan. Sebenarya mata uang perak dan emas itu nantinya akan dibawa ke Hindia-Timur dan sebagian akan ditukar dengan beberapa jumlah barang dagangan kemudian akan dijual kembali di Eropa. Walaupun ada sebagian kecil dari barang dagangan digunakan oleh pribadi.
Dari insiden hilangnya dan karamnya beberapa kapal milik VOC ini tentunya memberikan kerugian yang besar karena banyak mata uang yang hilang dan barang dagangan yang tidak diperoleh. VOC memang sangat memprioritaskan mata uangnya di seluruh kegiatannya baik itu mata uang perak dan emas. Sekitar tahun 1644-1645 mata uang yang digunakan untuk transaksi dalam tubuh VOC terlampau banyak sehingga hal ini menyebabkan kekacauan dalam peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC. Misalnya saja Real delapan Spanyol dan Amerika-Spanyol, mata uang perak dan emas, ducat-dukat emas Venesia, Hungarian dan Belanda. Belum juga termasuk mata uang yang berlaku di Asia seperti rupee emas dan perak, abbasi dan larin, koban dan oban, dan sebagainya.
Pengiriman lantakan emas dan perak dari Belanda ke Batavia pun mengalami fluktuasi tergantung keadaan yang terjadi pada perdagangan yang dilakukan VOC. Sekitar akhir abad ke tujuh belas, VOC memperoleh keuntungan dengan mendapatkan sejumlah besar emas dari Negara Jepang atau yang pada saat itu disebut “ Negeri Tertutup”(sakoku) artinya tidak dapat dimasuki oleh saingan-saingannya.
Pada masa pemerintahan dan kejayaannya VOC memang menjalin hubungan baik dengan Jepang. Hal ini ditunjukan dengan hubungan dalam kebudayaan dan kecendekiaan di samping juga dalam perdagangan. Dikatakan juga bahwa kedatangan dan kehadiran “Si Rambut Merah” (orang Belanda/Eropa) di Deshima dan kapal-kapal Hindia-Belanda di pelabuhan memberikan ilham banyak untuk apa yang disebut Nagasaki-e, yakni cetakan-cetakan berwarna yang terbuat dari ukiran-ukiran kayu. Para pelacur juga menjadi alternative bagi Jepang dalam menjalin hubungan dengan Belanda.
Dominasi VOC di Indonesia khususnya di pulau Jawa jelas sangat terlihat akan tetapi di Jawa Tengah posisi VOC tergantung dari pemisahan yang berlanjut antara keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah Melayu,  kegagalan VOC dalam mencegah ekspansi yang dilakukan oleh Bugis di Selat Malaka semakin menyulitkan kedudukan VOC di Indonesia Selain itu kedudukan VOC di Kalimantan Barat juga sama gawatnya. Bukan hanya di Indonesia tetapi di daerah anak benua India pun kedudukan VOC terdesak oleh pemerintahan Inggris seperti di Srilanka, India, dsb. Perang antara Belanda-Inggriss terus berlangsung dalam perebutan kekuasaan atas wilayah jajahan. Pada perebutan wilayah Padang (Sumatra Barat) Inggris berhasil merebutnya tanpa perlawanan. Dan kemudian atas keadaan ini dibuatlah perjanjian Paris yang membebaskan Inggris berlayar di wilayah Indonesia.
Pada Perang tahun 1780-1783 armada maritime VOC menunjukan kembali kelemahannya sehingga hal ini membuat Haren XVII meminta bantuan pada angkatan laut Staten General. Para abdi dan awak kapal Jan Kompeni menunjukan kelesuan dalam menjalani pertempuran dan perang. Tambah lagi armada laut yang di miliki Inggris jauh lebih kuat baik dari segi Awaknya maupun teknologinya. Kehidupan sosial yang hedonis dan glamour dengan melakukan Pesta-pesta besar di Batavia juga menjadi faktor terlalu cerobohnya birokrasi dan sistem administrasi VOC. Permasalahan yang dialami VOC lebih banyak terjadi pada abad delapan belas karena tidak loyalnya para armada dan awaknya pada VOC sendiri.

B. Perlawanan Rakyat Terhadap Bangsa Barat
1. Reaksi Malaka dan Aceh Terhadap Portugis dan Belanda
Hubungan orang Indonesia dengan orang Asia lainnya telah berlangsung sejak lama. Hubungan itu tidak saja melalui perdagangan, melain kan juga melalui pergaulan politik antar-kerajaan. Pada abad 16, beberapa kerajaan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan-kerajaan Islam yang terkemuka di Asia, diantaranya ialah dengan kemaharajaan Turki. Memang Turki waktu itu merupakan salah satu negara Islam yang terkemuka; kebesaran Turki terkenal sampai di Indonesia pada waktu itu.
Berbeda dengan orang Asia, kehadiran orang Portugis di perairan Malaka menimbulkan kecurigaan. Orang-orang Portugis datang tidak hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk penyebaran agama. Mereka datang bukan atas nama perorangan, melainkan atas nama Negara. Karena itu tindakan-tindakannya lebih bersifat politik dari pada sifat dagangnya. Kapal-kapalnya juga bukan kapal dagang tetapi lebih berupa kapal perang. Tiap kapal dilengkapi perlengkapan untuk pertempuran. Mereka pertama kali datang dipimpin oleh Diego Lopez de Sequeira diperintahkan untuk melakukan perjanjian dengan pembesar Malaka. Yang sangat di inginkan adalah izin perdagangan Sultan Mahmud Syah dan rakyatnya menolak kedatangan mereka. Karena tahu Portugis ingin menguasai perdagangan lewat Malaka. Orang-orang Portugis pun diserang.
Serangan rakyat Malaka terhadap orang Portugis dijadikan alasan Albuquerque untuk mengadakan serangan balasan. Sebelumnya Mahmud Syah telah melakukan persiapan. Albuquerque beserta pasukannya tiba di Malaka pada tahun1511. Ketika kedua belah pihak tidak mau berunding lagi, perang meletus. Perang berkobar sangat dahsyat sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Keberanian prajurit-prajurit Malaka tidak mampu menghadapi persenjataan Portugis yang lenih modern. Sultan Malaka terpaksa menyingkir ke pulau Bintang. Untuk mempertahankan kedudukannya Portugis membangun benteng yang kuat di kota Malaka itu. Penyebaran agama segera di lakukan sejalan dengan ekspansi ekonomi.
Sekalipun Malaka telah diduduki oleh Portugis. Perlawanan orang Malaka tidak pernah berhenti. Ada perlawanan yang di pimpin oleh seorang Jawa yang bernama Katir. Katir segera melancarkan serangan-serangan. Katir pernah juga minta bantuan kepada ke Jepara. Pada tahun 1513, Pati Unus mengirim bantuan dari Jepara sebanyak 100 kapaldan 10.000 prajurit untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi dalam pertempuran itu armada Jawa mengalami kekalahan.
Berita-berita di dudukinya Malaka oleh Portugis sebelumnya telah sampai pula ke Pasai. Oleh sebab itu kedatangan Portugis di Pasai disambut dengan antipasti. Pasai di tinggalkan oleh para pedagang yang lalu mencari mencari tempat yang lain. Daerah Aceh yang semula menjadi wilayah Pedir. Perdagangan yang semula banyak singgah di Malaka, kemudian memusatkan kegiatannya di Aceh.
Pasai kemudian di kuasai oleh Aceh, sehingga orang Portugis kehilangan tempat berdagang. Kemudia Aceh bersekutu dengan Johor untuk melawan Portugis di Malaka. Namun Aceh dan Johor mengalami kekalahan, karena perlengkapan dan kapal Portugis lebih Unggul daripada yang mereka miliki. Dengan demikian Portugis dapat mempertahankan kedudukannya di kota Malaka, sampai orang Belanda merebutnya pada tahun 1641. Di luar kota ini, yaitu di daerah Semenanjung Malaya dan pulau Sumatera, orang Portugis belum dapat memperluas pengaruhnya.
Belanda menganggap perlu pula untuk mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa yang ada di Semenanjung Malaya untuk mendapatkan monopoli beberapa jenis bahan perdagangan seperti timah. Perjanjian yang demikian itu berhasil diadakan antara lain dengan Sultan Kedah pada tahun 1642. Dalam persyaratan perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa orang Jawa, Perak, Kedah, Kurmandel, Bengal dan lainnya, tidak boleh berdagang di tempat itu bila tidak seijin orang Belanda
Aceh sebagai kerajaan pantai pada waktu itu masih mampu mempertahankan diri terhadap desakan orang Barat. Perdagangan lada masih di kuasainya untuk waktu yang lama. Orang Aceh membawa lada itu sampai ke India dan Laut Merah. Orang Aceh pada waktu itu telah di kenal sebagai prajurit yang ulung. Orang Portugis mengakui ketangkasan prajurit Aceh yang selama seabad mengganggu keamanan lalu lintas di Selat Malaka bagi orang Barat.
Pada pertengahan abad ke -16 Aceh merupakan kekuatan yang cukup mengancam Portugis yang bercokol di Malaka. Orang Portugis tahu bahwa Aceh memiliki hubungan erat dengan Turki. Banyak bantuan militer yang dikirimkan oleh Turki ke Aceh. Pada tahun 1566 atau 1567, Aceh mendapat bantuan 500 orang Turki terdiri dari ahli-ahli senjata api, penembak-penembak dan ahli tehnik lainnya. Selain dari Turki, Aceh juga memperoleh bantuan dari tempat lain, misalnya dari Kalikut dan Jepara. Dengan bantuan-bantuan itu Aceh mampu mengimbangi kekuasaan Portugis di Malaka.
Orang Portugis juga pernah mencoba mengadakan blokade terhadap Aceh untuk mencegah hubungannya dengan luar. Akan tetapi sebaliknya Aceh-pun mampu mengadakan penyerangan dan pengepungan terhadap mereka. Keinginan Portugis untuk menyerang Aceh secara besar-besaran tidak dapat di laksanakan karena mereka tidak memiliki armada yang cukup besar. Lebih-lebih pada akhir abad ke-16 keadaan di Eropa menyebabkan orang portugis tidak mampu membendung kegiatan perdagangan rempah-rempah oleh Aceh ke Laut Merah.
Pada masa pemerintahan ‘Alauddin Ri’ayat Syah, Aceh mengalami kesulitan, karena bersaing dengan kerajaan Johor. Pada waktu itu Aceh tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan serangan ke Malaka. Baru kemudian setelah Sultan Iskandar Muda memerintah (1607-1636) kemampuan perangnya meningkat lagi, sehingga mampu mengembalikan daerah-daerah yang pernah lepas dari pengaruhnya, ketika Aceh mengalami kemunduran selama akhir abad ke-16. Di bawah Iskandar Muda malahan berhasil memperluas daerahnya ke Sumatra Timur dan Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga menguasai daerah Sumatra Barat yang menghasilkan lada dan emas. Bahan perdagangan itu merupakan bahan yang berharga karena banyak di cari oleh pedagang dari Gujarat, Cina , Belanda maupun Inggris. Untuk menanamkan jalan perdagangan itu Iskandar Muda menempatkan pengawas-pengawasnya di pelabuhan-pelabuhan Tiku atau Pariaman. Mereka itu kebanyakan adalah para panglima-panglimanya, yang di angkat untuk mengurusi soal pengawasan tersebut
Di antara pedagang-pedagang asing itu. Aceh lebih menyukai orang-orang Gujarat, yang datang ke daerah itu dengan membawa bahan pakaian. Pedagang-pedagang asing lainnya paling-paling hanya sampai di Kutaraja. Lebih-lebih terhadap pedagang Eropa, Aceh tidak begitu suka. Cornelis de Houtman pada tahun 1599 dan James Lancaster pada tahun 1602 pernah di ijinkan untuk singgah di Aceh, karena Aceh membutuhkannya sebagai sekutu melawan Portugis dan Johor. Orang Inggris pernah juga mendapatkan ijin untuk berdagang di beberapa pelabuhan di Aceh tetapi tidak lama. Setelah itu orang Belanda juga mendapat ijin, tetapi dengan syarat yang berat. Pendek kata Iskandar Muda memberikan ijin dagang kepada Belanda untuk beberapa tahun. Aceh mulai mengalami kemunduran setelah masa pemerintahan Iskandar Muda berakhir dan setelah Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis
2. Maluku Menghadapi Portugis, Spanyol, dan Belanda
Pada tahun 1519 orang Spanyol mengirimkan kapal-kapal ke Maluku melalui rute Barat. Kapal-kapal Spanyol itu dipimpin oleh Fernao Magelhaes. Setalah mengarungi Samudra Atlantik dan Pasifik, mereka sampai di Mactan di kepulauan yang kemudian di sebut Filipina, sesuai dengan nama rajanya, yakni Felipe. Malang bagi Magelhaes, setelah mendarat di Mactan ia terbunuh dalam suatu pertempuran dengan penduduk. Perjalanan menuju Maluku, di teruskan oleh anak buahnya, yang tiba di Maluku pada tahun 1521. Pada waktu itu orang Portugis telah lebih dahulu berada di Maluku.
Orang Spanyol dan Portugis yang sedang bersaing itu tiba ketika dua kerajaan Indonesia di sana sedang bermusuhan, yakni Ternate dan Tidore. Untuk memperoleh sekutu Ternate menerima baik kedatangan orang Portugis. Malahan orang Portugis diperkenankan mendirikan benteng di Ternate. Sebaliknya, Tidore menerima baik kehadiran orang Spanyol. Tetapi Spanyol harus mundur dari Maluku berdasarkan perjanjian Tordesilas.
Pertikaian itu merugikan Ternate dan Tidore sendiri. Pengaruh Portugis menjadi lebih besar. Portugis berhasil memaksakan kehendaknya untuk monopoli bahan rempah-rempah. Sebaliknya orang Maluku kehilangan kebebasan untuk melakukan perdagangan dengan siapa saja yang mereka kehendaki untuk melakukan perdagangan dengan siapa saja yang mereka kehendaki. Sifat kasar dan motif penyebaran agama dari Portugis menimbulkan kebencian orang Maluku.
Ternate yang semula menjadi sekutu Portugis akhirnya juga memusuhi mereka. Dalam suatu pertempuran orang Ternate berhasil membakar benteng Portugis. Perlawanan juga timbul dari orang-orang Tidore dan Bacan terhadap orang Portugis. Maka tepatlah apabila di katakan bahwa pada waktu itu seluruh Maluku bangun melawan Portugis. Secara berulang kali pertempuran antara kedua belah pihak terjadi. Pada tahun 1577, rakyat Ternate berhasil mengusir sama sekali orang Portugis dari wilayahnya. Orang Portugis terpaksa pindah ke pulau lain, yang tidak jauh dari Tidore. Tetapi di tempat itupun pada akhirnya orang Portugis diganggu terus-menerus oleh orang Jawa dan Melayu yang biasa mengangkut cengkeh dari sana, di samping oleh orang-orang Ternate sendiri. Ketika Portugis dan Spanyol di persatukan di bawah seorang raja (1580), orang Spanyol yang berkedudukan di Filipina berusaha untuk merebut kembali daerah Ternate. Tidak lama kemudian datanglah orang Belanda ke Maluku, dan berhasil menduduki benteng Portugis di Amboina pada tahun 1605. Kehadiran orang-orang Belanda di Maluku itu tidak saja mengandung pertikaian dengan sisa-sisa orang Portugis yang masih ada di daerah itu, tetapi juga dengan orang Spanyol. Pertempuran-pertempuran yang terjadi di Maluku antara orang Belanda dan Spanyol. Tetapi baru pada tahun 1663 Spanyol mengundurkan diri dari Maluku untuk memperkuat kedudukannya di Manila karena merasa terancam oleh Koxinga yang telah berkuasa di Taiwan
Setelah orang-orang VOC (kompeni) tiba di Maluku, mereka segera berusaha melaksanakan maksudnya untuk menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah. Oleh sebab itu kehadirannya itu mengundang reaksi yang sama dari orang Maluku seperti yang di lakukan terhadap orang portugis dan Spanyol. Pedaganag-pedagang Jawa dan Melayu yang telah menjadi langganan dalam pengangkutan cengkeh dari daerah ini berdasarkan prinsip perdagangan bebas juga bersikap sama dengan penduduk setempat. Perlawanan berkobar di mana-mana. Pada tahun 1635-1646 rakyat Hitu melakukan perlawanan terhadap Kompeni di bawah pimpinan Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan juga terjadi secara meluas di daerah Amboina sampai ke Ternate pada tahun 1650. Perang itu dipimpin oleh Saidi. Kompeni juga harus menghadapi serangan-serangan gerilya dari rakyat Jailolo pada tahun 1675. Setelah Kompeni berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, barulah ia dapat menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah dan menanamkan kekuasaannya. Sekalipun demikian tidak berarti perlawanan rakyat berhenti.
3. Banten dan Mataram menghadapi Belanda
Pada abad ke-16 Banten sebagai kerajaan Islam telah mempunyai pelabuhan yang ramai didatangi oleh pedagang-pedagang dari berbagai tempat. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, pelabuhan Banten bertambah ramai. Pedagang-pedagang dari India, Persia dan Arab tidak lagi singgah ke Malaka, tetapi langsung memindahkan jalur pelayarannya ke Banten.
Ketika orang Belanda untuk pertama kalinya datang di Banten pada tahun 1596 mereka di curigai. Tetapi kemudian mereka diterima baik setelah mereka menerangkan bahwa maksud kedatangannya hanyalah akan berdagang saja. Perjanjian persahabatn antara penguasa di Banten dan Belanda pernah diadakan. Belanda di ijinkan berdagang dengan bebas di Banten. Tetapi suasana persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena di antara orang-orang Eropa yang berdagang di Banten timbul persaingan. Orang Belanda kemudian bersikap kasar sehingga menimbulkan keonaran. Akibatnya beberapa orang Belanda di tangkap oleh penguasa Banten. Di antaranya termasuk juga de Houtman sendiri segabai pemimpinnya. Orang-orang Belanda membalas dengan menembaki Banten dari kapal-kapal mereka, sehingga menimbulkan suasana permusuhan. Setelah memberi uang tebusan untuk membebaskan teman-temannya yang di sekap di Banten, mereka kemudian pergi meninggalkan Banten
Pada masa berikutnya orang-orang Belanda datang kembali ke Banten untuk menjalin hubungan dagangnya. Tetapi karena orang Belanda, Portugis, dan Inggris ada persaingan satu sama lain, maka akibatnya masing-masing mencoba untuk merusak hubungan-hubungan lawannya dengan Banten. Portugis mula-mula berhasil merusak hubungan antara Belanda dan Banten. Demikian pula Belanda juga mencoba merusak hubungan antara Banten dengan orang Eropa lainnya, dan juga dengan kerajaan lain. Jan Pieterszoon Coen, yaitu pemimpin VOC di Indonesia telah berhasil mengadu-domba Banten dengan Jayakarta. Demikian pula hubungan antara Banten dengan orang Inggris dapat dirusak. Sering terjadi pula pertentangan antara Banten dengan Kompeni.
Pertentangan memuncak setelah Kompeni menduduki Jayakarta pada tahun 1619. Pecahlah permusuhan terbuka antara Banten dengan Kompeni. Perlawanan Banten ditingkatkan setelah Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651. Pada tahun 1656 sejumlah kapal Kompeni berhasil dirampas oleh orang Banten, dan dilakukan pula pengrusakan perkebunan tebu milik Kompeni. Akhirnya dengan susah payah Kompeni berhasil menundukkan Banten setelah mereka berhasil mempengaruhi putra mahkota supaya melawan ayahandanya pada pihak Kompeni. Selanjutnya Sultan Ageng Tirtayasa dapat di tawan oleh Kompeni. Pada tahun 1682 putra mahkota yang telah menjadi Sultan dipaksa untuk menandatangani penyerahan kekuasaan daerahnya kepada VOC.
Usaha menanamkan monopoli perdagangan dan kekuasaan Kompeni juga membangkitkan reaksi dari Mataram di bawah Sultan Agung. Pada tanggal 18 Agustus 1618 kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan itu merupakan reaksi pertama yang dilakukan untuk memperkuat kedudukannya di Jayakarta (Batavia), ketegangan antara Mataram dan Kompeni makin meningkat antara tahun 1620 dan 1628.
Pengepungan itu tidak berhasil mematahkan orang Belanda karena kesalahan dalam persiapan. Perbekalan yang sudah disiapkan di berbagai tempat di pantai utara Jawa, tidak dilindungi dari laut, sehingga dapat dibinasakan oleh armada Belanda. Karena itu tentara ekspedisi Mataram menderita kelaparan, sehingga pengepungan terpaksa diurungkan, karena para prajurit sudah tidak berdaya lagi. Ketegangan itu akhirnya memuncak dengan terjadinya pengepungan besar-besaran yang dilakukan oleh Mataram terhadap Kompeni di Batavia pada bulan Agustus 1628,
Usaha pengepungan keuda terhadap Batavia juga mengalami kagagalan. Hubungan antara VOC dan Mataram tetap buruk sampai meinggalnya Sultan Agung pada tahun 1645, dan masing-masing pihak tidak dapat menghancurkan pihak lawannya. Juga sesudahnya Mataram mengadakan perlawanan, terutama di bawah pimpinan Trunojoyo (1674-1678).
4. Banjar dan Gowa Menghadapi Kehadiran Belanda
Banjar sebagai suatu kerajaan telah berdiri pada sekitar pertengahan abad ke-16. Pengaruh Jawa pada kerajaan Islam kini besar. Selain sistem pemerintahan, beberapa unsure budaya Jawa diambil pula oleh kerajaan yang terletak di pantai Kalimantan Selatan ini. Daerah pengaruh Banjar meliputi Sukadana, Kotawaringin dan Lawei. Semula kerajaan ini harus mengirimkan upeti ke Demak. Setelah Demak mundur, pengiriman upetinya berhenti, sekalipun hubungannya dengan Jawa tetap berlangsung. Pertentangan sekali-sekali juga pernah terjadi antara kerajaan Bandar dengan Tuban dan Surabaya yang hendak memaksakan kekuasaannya terhadap Banjar. Demikian juga dengan Mataram. Tetapi pertikaian ini kemudian hilang dan terjadi hubungan yang baik, ketika VOC mulai muncul.
Di pelabuhan kerajaan Banjar tersedia bahan perdagangan hasil-hasil bumi setempat, seperti kapur barus, berlian, batu bezoar, dan juga lada. Orang Portugis dan Belanda pada akhir abad ke 18 juga datang ke daerah itu. Pada masa berikutnya ancaman Kompeni di daerah lain juga dicoba dilakukan di Banjar. Setelah berhasil membuat kontrak untuk melakukan perdagangan dengan Raja Banjar, Kompeni mulai melakukan perluasan pengaruhnya dengan jalan ikut campur dalam urusan rumah tangga kraton Banjar. Akibatnya orang Belanda dapat mengambil di air keruh. Kompeni berhasil memaksakan kehendaknya untuk memonopoli perdagangan lada setelah berhasil mencampuri pertentengan yang terjadi yang terjadi dalam negeri itu. Reaksi-reaksi mulai timbul, karena kebebasan rakyat dalam perdagangan terancam. Keadaan yang sama juga terasa di kerajaan Gowa yang terletak di daerah Sulawesi Barat.
Kerajaan Gowa menempati kedudukan yang baik dalam jalur perdagangan yang datang dan pergi dari daerah Maluku. Dalam lalu lintas perdagangan itu Gowa menduduki kedudukan sebagai Bandar transito bagi kapal-kapal yang mengangkut bahan perdagangan yang berlayar ke ke atau dari Maluku. Oleh sebab itu Kompeni mengadakan hubungan dagang dengan Raja. Dan disanapun mereka berusaha untuk membujuk Raja agar supaya melarang orang asing lain berdagang. Dengan kata lain, mereka menuntut kedudukan monopoli. Seperti halnya di Banjar maupun di tempat lain, Kompeni mengadakan paksaan-paksaan untuk mencapai kehendaknya. Kapal-kapal orang Makasar di laut. Gowa dikepung, bajak-membajak antara kedua belah pihak terjadi, baik di laut maupun di darat. Akhirnya perang terbuka pecah pada awal tahun 1654 dan berlangsung sampai 1655.
Dalam permusuhannya dengan Gowa itu, Kompeni juga menggunakan taktik lamanya, yaitu mengambil kesempatan dalam kericuhan yang ada dalam negeri itu. Aru Palaka yang sedang bersengketa dengan Gowa dibantu oleh Kompeni, sehinnga Kompeni memeroleh sekutu di pihak pribumi. Perang pecah kembali dalam bulan Juli 1667. Kompeni menyerbu Gowa di bawah pimpinan Speelman. Pecahlah pertempuran-pertempuran sengit sehingga banyak korban jatuh, bahkan Speelman sendiri hamper saja tewas. Akhirnya Gowa harus mengakui keunggulan senjata Kompeni dan menandatangani perjanjian Bongaya yang merugikan bagi orang Makasar
Orang Makasar yang tidak tahan di bawah telapak Kompeni kemudian banyak yang meninggalkan Gowa untuk mengembara serta memberikan bantuan kepada rakyat-rakyat di daerah lain yang sedang melawan Kompeni. Mereka ini antara lain dipimpin oleh Karaeang Bontomaranmu dan Kareang Galesung. Mereka itulah yang ikut membantu Trunojoyo dari Madura yang melawan Kompeni di Jawa.




Daftar Pustaka :
Notosusanto, Nugroho, dkk. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2. Jakarta: Monora.
Dumadi, Sagimun Mulus. 1975. Sultan Hasanudin menentang V.O.C. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Boxer, C.R. 1983. Jan Kompeni “Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799”. Jakarta: Sinar Harapan.
Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Taylor, Jean Gelman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup Jakarta.
--------. 2014. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
A, Musfita S.Pd, dkk. 2014. Sejarah Indonesia. Klaten: Usaha Mandiri.
Wardaya. 2009. Cakrawala Sejarah. Jakarta: PT. Widya Duta Grafika.
Endang, Siti, dkk. 2012. Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Farid, Samsul. 2011. Sejarah Indonesia. Jakarta: Rama Widya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar