A.
Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia
1.Kedatangan
Bangsa Barat dan Lahirnya VOC
Ada
faktor yang mendorong orang-orang Portugis mencari sendiri jalan yang menuju ke
kepulauan rempah-rempah. Pertama adalah faktor ekonomi, kedua adalah faktor agama,
dan yang ketiga ialah faktor petualangan. Usaha untuk mengejar keuntungan
sebesar-besarnya dari perdagangan di Eropa. Sudah semenjak lama rempah-rempah
menjadi bahan berharga dlam kehidupan sehari-hari orang Eropa. Ungkapan
“semahal lada” di Barat, menggambarkan betapa tingginya nilai rempah-rempah
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian barangsiapa yang berkesempatan
menjadi penyalur barang perdagangan itu akan menikmati laba yang besar.
Lebih-lebih apabila orang dapat memperolehnya langsung dari tempat asalnya,
maka keuntungan yang berlipat-ganda akan dapat diraihnya. Sebagai penyalur
rempah-rempah yang datang dari Dunia Timur ke Dunia Barat, orang Portugis
merasa tertarik untuk mencari sendiri jalan yang menuju ke tempat yang
menggiurkan itu. Itulah asal-mula penetrasi atau penerobosan orang Barat ke
Dunia Timur melalui kesukaran-kesukaran yang sangat hebat.
Dengan di landasi oleh semangat perang salib dan jiwa petualangan, keinginan orang Portugis untuk mengejar keuntungan ekonomi itu dapat terlaksana. Dengan jalan menyusuri pantai barat Afrika ke selatan, kemudian membelok ke pantai timur Afrika dan siteruskan kea rah utara, orang Portugis mulai menemukan jalan terbuka yang menuju ke Dunia Timur. Pada waktu mereka sampai di Malindi mereka berjumpa dengan pedagang-pedagang Islam yang telah berabad-abad menguasai perdagangan antar Kepulauan Indonesia, daerah Persia dan daerah Laut Merah. Mereka mengetahui bahwa kerajaan-kerajaan Islan yang ada dalam jalur perdagangan itu menjadi kaya oleh karena menguasai rempah-rempah dari Indonesia.
Semangat
perang salibnya mendorong Portugis untuk berusaha mematahkan, pedagang Islam
dalam menguasai bahan perdagangan dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah.
Mereka tidak kenal kompromi. Setiap kali berjumpa dengan kapal
pedagang-pedagang Islam, orang-orang Portugis berusaha untuk menghancurkannnya.
Oleh karena itu bentrokan bersenjata antar kedua golongan yang berbeda agama
maupun berlawanan kepentingan itu tidak dapat dihindarkan. Dalam menghadapi
lawannya yang tangguh itu, orang Portugis mencari persekutuan dengan raja-raja
Asia yang tidak beragama Islam.
Di
Goa (India) orang Portugis berhasil mendirikan kantor dagangnya. Setelah
mendengar berita tentang kemakmuran Bandar Malaka, pimpinan orang Portugis yang
bernama Albuquerque bermaksud untuk mengadakan hubungan dengan penguasa Bandar
tersebut. Malaka pada waktu itu sudah merupakan bandar transito yang ramai dan
rajanya telah beragama Islam. Berbagai bangsa ada dalam Bandar itu, termasuk
pedagang-pedagang islam dari Gujarat dan Arab. Mereka itu datang mengambil
rempah-rempah dan menukarnya dengan bahan pakaian. Rempah-rempah dan hasil bumi
lainnya dibawa ke Bandar itu oleh pedagang-pedagang pribumi yang berasal dari
Asia Tenggara. Khususnya dari Kepulauan Indonesia.
Berita
kehadiran orang Portugis telah sampai pula di bandar Malaka. Sikap terjang dan
tujuan orang Portugis dan tujuan orang Portugis sudah di ketahui pula. Dengan
demikian bahaya yang mengancam bandar Malaka apabila orang Portugis datang juga
sudah disadari oleh Sultan Malaka maupun oleh pedagang-pedagang islam umumnya.
Oleh karena itu utusan Portugis yang datang ke Malaka pada tahun 1509 untuk
menyampaikan surat-surat kepercayaannya kepada Sultan, tidak diterima. Sultan
Mahmud Syah enggan berhubungan dengan orang Portugis stetlah mempertimbangkan
untung ruginya. Dengan penolakan itu, orang Portugis memutuskan untuk
memaksakan kehendaknya dengan kekerasan senjata. Mereka mengirimkan armada yang
unggul pada tahun 1511 Malaka berhasil direbut.
Saat
Malaka jatuh ke tangan musuhnya, orang Portugis, pedagang-pedagang Islam
memindahkan kegiatannya ke pelabuhan–pelabuhan lain. Dengan jalan demikian
mereka dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Penyaluran
rempah-rempah dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tetap dapat dikuasai,
sekalipun harus menghadapi serangan-serangan orang Portugis.
Petualangan
orang Portugis tidak berhenti di Malaka. Mereka meneruskan usahanya untuk
sepenuhnya menguasai perdagangan rempah-rempah dengan mengadakan pelayaran kea
rah timur yaitu ke kepulauan Maluku. Dalam perjalanannya ke Maluku, mereka
singgah di pelabuhan Gresik. Dan akhirnya tiba di Banda, disana mereka membeli
pala, cengkeh, dan fuli. Bahan-bahan itu ditukar dengan bahan pakaian dari
India. Kedatangan Portugis di Maluku merupakan faktor baru dalam
hubungan-hubungan antara daerah-daerah Indonesia. Mereka dapat memanfaatkan persaingan-persaingan
setempat untuk memperkuat kedudukannya sendiri. Misalnya ketika orang Portugis
datang ke Maluku. Hitu dan Seram sedang bersengketa dan orang Portugis memihak
Hitu. Kedatangan mereka di Ternate diterima baik, sebagai sekutu menghadapi
kerajaan Indonesia lainnya. Hubungan perdagangan antara Portugis dan Ternate
terjalin untuk beberapa lama. Tetapi karena orang Portugis diminta untuk
membantu Ternate dalam menghadapi musuhnya. Maka mereka menuntut imbalan.
Mereka mengajukan tuntutan untuk mendapat ijin monopoli perdagangan cengkeh.
Dengan ijin monopoli itu maka semua cengkeh dari rakyat Ternate harus dijual
kepada mereka. Dengan demikian rakyat kehilangan kebebasannya untuk
menjualhasil tanamannya dengan harga yang lebih baik. Remah-rempah harus dijual
kepada Portugis dengan harga murah, sedangkan penjualan kepada pedagang lain
dilarang. Barangsiapa menentang, ditindak dengan kekerasan senjata.
Pada
tahun 1521 orang Spanyol tiba di Maluku. Dengan dua buah kapalnya mereka datang
melalui Filipina dan Kalimantan Utara terus menuju Tidore, Bacan dan Jailolo.
Di daerah itu mereka diterima dengan baik. Tetapi bagi orang Portugis mereka
dianggap saingan yang akan mengancam monopoli perdagangan rempah-rempah yang
telah dipegangnya. Karena itu orang Spanyol diserang oleh mereka. Karena kalah
kuat, maka orang Spanyol tidak lama berdagang di Maluku. Kapal-kapal mereka
berlayar di kepulauan tiu hanya sampai tahun 1534. Baru pada awal abad 17
ketika kekuatan Portugis telah mundur, kapal Spanyol berlayar kembali di
perairan Maluku.
Jejak
orang Portugis ke Indonesia pada akhirnya diketahui oleh orang-orang Eropa
lainnya. Pada akhir abad 16 dan awal abad ke 17 orang Belanda, Inggris, Denmark
dan Perancis telah datang pula ke Indonesia. Tidak berbeda dengan orang
Portugis, mereka juga mempunyai maksud yang sama. Mereka masing-masing juga
bermaksud untuk memaksakan monopoli perdagangan, menguasai bahan-bahan perdagangan
yang penting di Indonesia seperti rempah-rempah. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila kedatangan mereka menambah ketegangan. Selain mengadakan
persaingan di antara mereka sendiri, mereka semuanya mencoba memaksakan kehendaknya
kepada para penguasa pribumi.
Pada
tahun 1596 orang Belanda berhasil tiba di Banten. Mereka berangkat pada tahun
1595 dengan empat buah kapal dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dan selama
empatbelas bulan mengarungi lautan. Semula kedatangan mereka di Banten di
sambut baik oleh para penguasa setempat. Orang Belanda mula-mula menunjukkan
siakp bersahabat dan kemudian melakukan perjanjian dagang dengan Banten. Tetapi
akhirnya orang Belanda memperlihatkan keserakahannya dan ingin mengejar
keuntungannya sendiri. Hal itu menyebabkan mereka di musuhi oleh orang Banten
sehingga terpaksa menyingkir. Pada tahun 1598, mereka tiba untuk kedua kalinya
di Banten. Karena sikap mereka yang baik, mereka di terima dengan baik pula di
daerah lain, seperti di Tuban dan di daerah Maluku. Di Ternate malahan mereka
di terima baik sekali, karena kebetulan Ternate sedang bermusuhan dengan orang
Portugis dan Spanyol. Dengan modal sikap yang baik kehadiran mereka yang kedua
itu telah membawa keuntungan yang besar, karena dapat memuati kapalnya dengan
bahan-bahan perdagangan yang banyak sekali.
Untuk
dapat menang dalam persaingannya dengan orang Eropa lainnya, maka pada tahun
1602 orang Belanda mendirikan serikat dagang yang di sebut Vereenidge Oost-Indische Compagine (VOC) yang berarti Kompeni
Serikat Hindia Timur. Dengan serikat dagangnya itu orang Belanda setapak demi
setapak mampu menyaingi orang Portugis dalam monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pada mulanya VOC menunjukkan sikap bersahabat terhadap penguasa-penguasa pribumi
bagi orang Belanda penting. Tetapi pada akhirnya sikap orang-orang VOC berubah
dan mereka mulai membuka kedoknya. Maksud-maksudnya juga semakin jelas. VOC
tidak lagi puas dengan keuntungan biasa dalam perdagangan, melainkan ingin
melaksanakan monopoli perdagangan untuk menggaruk laba secara maksimal. Untuk
mencapai itu perlu dipergunakan kekuatan militer. Mereka tidak segan-segan
menanamkan kekuasaannya secara fisik terhadap kerajaan-kerajaan Indonesia yang
tidak mau mengakui monopolinya. Arah politik yang demikian itu mulai tampak
jelas semenjak J.P Coen menjadi Gubernur Jenderal (1619).
Jayakarta
di rebut oleh VOC dari tangan Pangeran Wijayakrama dalam perang yang
berlangsung pada sekitar tahun 1618-1619. Banten dan Mataram tidak tinggal
diam, karena wilayahnya terancam juga, terlebih-lebih Sultan Agung dari Mataram
yang pada saat itu sedang meluaskan kekuasaanya atas seluruh Jawa. Tindakan VOC
dianggap mengancam kekuasaannya. Reaksi Mataram semakin meningkat setelah VOC
mulai berusaha untuk memaksakan monopolinya di daerah pesisir utara Jawa. Pada
tahun 1628 dan 1629 Mataram melancarkan serangan secara besar-besaran terhadap
Batavia (yaitu nama yang di terima orang Belanda setelah Jayakarta di
dudukinya)
Reaksi
yang sama juga di berikan oleh daerah-daerah lain. Pada tahun 1666-1669 di
Sulawesi Selatan timbul pula perlawanan terhadap VOC. Di Jawa pada tahun
1686-1703 berkobar perang melawan musuh yang sama di bawah Untung Surapati.
Banten di bawah kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1682) mengobarkan perang
melawan VOC. Pendek kata selama abad ke-17 dan 18 usaha-usaha VOC untuk
memperluas kekuasaannya di daerah Indonesia tidak berlangsung dengan tenang,
melainkan dengan menghadapi tantangan dan perlwanan.
2.Keseimbangan Perang
Dan Perdagangan Yang Beralih
Dalam tahun 1702, VOC, kompeni
yang tiada taranya ini, yang sejak didirikannya telah menghasilkan
pembendaharaan yang tiada terbilang dari ujung yang paling jauh di dunia ke
dalam Persatuan Provinsi-provinsi Belanda mencapai ulang tahunnya yang
keseratus. Dapat dimanfaatkan, kalau Heren XVII merayakan peristiwa ini dengan
rasa bahagia tertentu, rohani dan jasmani. Pada penampilan luar, Loffelyche
Compagnie (kompeni yang terpuji) ini sebelumnya tidak pernah demikian makmur
dan perkasa. Kemakmuran niaganya dibuktikan dengan tibanya dengan selamat tujuh
belas buah kapal Hindia yang kaya muatan, kendatipun perang yang baru pecah
dengan Perancis dan Spanyol.
Dapat kita lihat dengan
tinjauan kebelakang, bahwa VOC sebenarnya telah melampaui puncaknya dan bahwa
kemundurannya telah dimulai. Terlihat dengan turunnya mutu-mutu kapal maupun
para pelaut. Kapal-kapal menjadi lebih besar, tetapi kurang bisa digerakan.
Lebih menggelisahkan dan agak sulit diatasi adalah kesukaran memperoleh jumlah
anggota pelaut yang mampu dalam jumlah memadai. Lebih gawat lagi selama per
empat terakhir dari abad ketujuh belas, kapal-kapal makin bertambah berisikan
anak buah orang asing, dan banyak yang melakukan desersi ke pihak Inggris,
terutama daerah Bengala.
Beberapa tahun sebelumnya Heren
XVII telah mereka peringatkan akan praktek-praktek para calo yang merekrut
pelaut untuk masuk dinas Kompeni. Yaitu, dengan memajukan seorang yang fisik
tegap tetapi didaftarkan dengan nama lain,yang lalu diganti dengan orang lain
yang muncul dikapal pada waktu apel, yaitu orang yang sebenarnya nama itu tapi,
fisik kurus kering dan loyo. Profesor Milo dalam tahun 1946 menyatakan bahwa
prestasi-prestasi yang mengecewakan dari kapal-kapal VOC dan para nahkodanya
terhadap eskader Prancis yang jauh lebih kecil tetapi mendapat pelayanan yang
lebih baik dalam tahun 1696 jelas membuktikan kehilangan norma. Kapal-kapal EIC
sekarang melayari rute pergi dan pulang lebih cepat daripada kapal-kapal
Belanda, sehingga yang disebut terdahulu lebih rendah angka kematiannya.
Seperti juga dalam dekade-dekade sebelumnya, sekali ikatan-ikatan disiplin
menjadi longgar sebagai akibat kapal karam, maka para perwira pun bisa
kehilangan kendali atas anak buah mereka.
Walaupun Belanda dengan Inggris
bersekutu terhadap Prancis di Eropa sejak 1689, persaingan perdagangan mereka
di Timur berlanjut. Dalam suatu ledakan khas dari Batavia, Gubernur Jenderal
dan Dewannya memberitahukan Heren XVII dalam bulan Desember 1688, bahwa agresi
Inggris dan tindakan sewenang-wenang telah menjadi tak dapat dibiarkan sama
sekali. Mereka mengeluh, bahwa malahan di Batavia sekalipun, dimana orang
Inggris seharusnya hanya mengharapkan agar diterima sementara saja dengan
ramah, tindakan mereka seolah-olah mereka yang memiliki tempat itu, dengan
menghina serta menghasut pejabat-pejabat maupun warga-warga kota, tanpa
memperdulikan akan kedaulatan Belanda.
“Keranjingan India” tahun 1690
telah membanjiri Inggris dengan begitu banyak belacu impor dan tekstil Asia
lainnya, hingga industri wol yang penting sangat terpukul. Pada tahun
1697, VOC mengimpor dari Asia barang-barang seharga beli 5,4 juta gulden. Para
penenun dan industrialis tekstil Belanda tidak memiliki cara pukulan politik
dari rekan-rekan Inggrisnya. Tidak ada pembatasan-pembatasan hukum yang
dikenakan terhadap penggunaan kain dan tekstil timur di negeri Belanda Utara.
Tetapi oleh EIC, seperti juga oleh VOC sebagian besar impor-impor dari Timur
dire-ekspor. Peralihan yang menentukan dalam sifat ekspor-ekspor ke Eropa lewat
Tanjung Harapan terjadi dalam masa 1680-1690. VOC dan EIC tidak lagi memusatkan
diri pada bahan-bahan mentah (seperti merica, nila, dan rempah-rempah) dan
barang-barang kasar, tetapi pada tekstil-tekstil dan buatan pabrik yang lebih
halus dan kain-kain tenunan.
“Gila India” di Eropa dari abad
ke tujuhbelas akhir disusul oleh “Gila Cina” pada abad ke delapanbelas walaupun
agak beda bentuknya. Perdagangan Cina merupakan tujuan pokok bagi VOC dan EIC,
karena mereka ingin bersaing dengan orang Portugis di Macao dan orang Spanyol
di Manila dalam menyadap harta kekayaan Kerajaan Cina yang semarak. Perdagangan
luar negeri Cina bertambah secara hebat dan VOC serta EIC termasuk di antara
penerima keuntungan yang utama. kompeni Belanda tidak mengatur perdaganganna
dengan Cina menurut cara yang sama seperti yang dilakukan oleh saingan
Inggrisnya. Karena perbedaan-perbedaan pendapat antara Heren XVII dan
pemerintah di Batavia, perdagangan langsung dari negeri Belanda ke Kanton.
Pelayaran-pelayaran Belanda langsung dari Batavia ke Kanton dimulai pada tahun
1734. Tetapi walaupun perdagangan VOC dengan Cina mengalami tahun-tahun
emasnya, tidaklah ia benar-benar dapat menentang dominasi EIC di Kanton untuk
masa lama. Dapat ditambahkan bahwa penyelundupan teh Cina dari Zeeland ke
Inggris sebelum undang-undang pergantian Pitt tahun 1734, memberikan garis
samping yang menguntungkan bagi kaum kapitalis Belanda yang membiayainya.
Disamping menetapkan pimpinan
yang menentukan dalam perdagangan Cina, EIC lambat laun juga makin mendapat
pengaruh daripada VOC di sebagian besar cabang perdaganganb dengan India,
walaupun hanya dalam tempat-tempat tertentu. VOC selama masa yang panjang bisa
memperoleh keuntungan keuntungan-keuntungan yang baik dari penjualan
rempah-rempah Malukunya di Surat. Ada perbedaan pendapat di kalangan Heren XVII
dalam tahun 1702-1703, mengenai apakah keuntungan tidak akan lebih besar pula
lagi bila harga penjualan direndahkan dari volume penjualan jadinya bertambah.
Kesibukan VOC untuk mempertahankan harga-harga yang tinggi bagi rempah-rempah
Maluku di Surat, menyebabkan Belanda mengabaikan pemasaran komoditi-komoditi
lain di barat laut India, hingga akhirnya menguntungkan saingan-saingannya
orang Inggris yang lebih berupaya.
Perdagangan kopi di Mocha
merupakan contoh yang lain bagi kita mengenai persaingan sengit yang terjadi
antara VOC dan EIC. Disini pun perjuangan berangsur-angsur jadi menguntungkan
orang Inggris yang membeli kopi yang mutunya lebih bagus di Arab dan men
jualnya lebih murah di Eropa. Sedikit banyak kegagalan Belanda di Mochca
diimbangi oleh usaha mereka yang sangat berhasil memasukan tanaman kopi di
Jawa. Heren XVII tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan kopi Jawa di Eropa.
Di sini popularitasnya dinyatakan oleh pendeta Franqois Valentijn pada tahun
1726. Dia mengeluh bahwa kopi sudah menjadi begitu umum disukai hingga
pelayan-pelayan wanita serta penjahit kini tidak mau memasang benang pada
jarumnya sebelum menikmati kopi paginya. Kaum Muslim di India Barat dan Persia
di pihak lain tetap lebih menyukai jenis Arabnya, dan menganggap kopi Jawa
kurang bermutu. Ketika hal ini dikemukakan oleh pemerintah di Batavia kepada
Heren XVII, reaksi tuan-tuan itu pada masam. Kedua jenis mereka coba dalam
beberapa kesempatan, dan mereka menyatakan bahwa menurut pikiran mereka tak ada
seorang pun didunia yang memiliki lidah yang begitu tahu selera, hingga dapat
membedakan kopi Jawa dengan kopi Mocha.
Para pesaing Eropa ini tidak
terbatas pada orang-orang Inggris dan orang Prancis, tetapi dalamnya termasuk
juga sekumpulan campuran macam-macam orang yang dikenal sebagai orang Ostende.
Kegiatan mereka terutama di Bengala dan Cina, menimbulkan amarah VOC maupun EIC
dan para pengurusnya mengajak pemerintah masing-masing melalui kegiatan
diplomatik bersekongkol menghadapi saingan-saingannya yang tidak disukai ini.
Persaingan orang Denmark dan Swedia di Asia tidak begitu menjadi perhitungan,
walaupun tidak dapat diabaikan dalam perdagangan Cina yang berkembang di
Kanton.
Gejala yang sangat mencolok
dari kehidupan Afrika Selatan pada masa itu adalah caranya kaum imigran dari
berbagai bagian Eropa berbaur dengan populasi yang ada dan membentuk koloni
Belanda yang homogen. Di Cape Town wanita kulit putih jauh lebih banyak
daripada di permukiman VOC yang lain, maka pergaulan antar ras dengan
gadis-gadis budak dan wanita-wanita Hottentot tidak banyak terjadi daripada
keadaan yang diperkirakan. Di Indonesia, dimana kekurangan wanita kulit putih
mengakibatkan percampuran ras dalam ukuran yang lebih banyak. Pendeta Valentijn
dalam setahun kedatangannya memberikan pendapat yang tidak enak dalam tahun
1706 yaitu “nyaris tidak ada seorang Belanda pun yang terpandang di Jawa, yang
tidak memiliki gundik cara hidup yang tercela, dan sedikit sekali memberikan
dorongan kepada pribumi untuk masuk agama kita. Tetapi mayoritas kaum “Indo”,
demikian mereka yang diketahui mempunyai leluhur kulit putih jadinya disebut,
masih dianggap sebagai warga kelas dua, hampir sama dengan kaum Mestizo dari
Spanyol baru, atau orang India-Inggris di Calcutta, Madras, dan Bombay. Mereka
menglami perlakuan diskriminasi secara sosial, dan sesungguhnya juga secara
hukum, dan hanya sedikit dari mereka yang dapat menduduki jabatan-jabatan yang
tertinggi.
Dalam tahun 1736, Kompeni
Inggris mengimpor merica ke London, sama banyaknya dengan yang diterima oleh
kompeni Belanda dari seluruh Indonesia. Kepentingan yang sesungguhnya dari
penaklukan Banten oleh VOC adalah bahwa hal ini mencekik pembangunan armada dagang
pribumi, yang diusahakan oleh sultan membangunnya dengan bantuan para pedagang
dan pelaut Eropa, yang melayarkan kapal-kapalnya sampai-sampai ke Manila dan
Madras. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan kesultanan Mataram mencapai
tahapnya yang kritis pada tahun 1740.
Imigrasi orang Cina secara
ilegal terus bertambah selama empat dasawarsa pertama dari abad kedelapan
belas, sementara pemerintah Batavia mengambil sikap yang ragu terhadap orang
Cina. Disatu pihak mereka merupakan tenaga kerja yang rajin dan terampil. Di
pihak lain, sebagai pedagang, peminjam uang dan pemilik toko, mereka menghisap
atau dituduh menghisap masyarakat kulit putih, Indp-Eropa dan pribumi yang
lebih miskin. Peristiwa ini selanjutnya mengakibatkan dibunuhnya secara
besar-besaran penduduk Cina yang damai dan patuh kepada undang-undang di
Batavia oleh orang Belanda, orang Indo-Eropa dan kaum proletar Indonesia,
sedangkan pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya, sehingga
menyebabkannya meluas ke daerah pedalaman.
Beberapa orang pangeran Jawa
sejak semula memihak VOC. Pemberontakan itu akhirnya ditumpas dalam tahun 1743,
walaupun beberapa orang pangeran yang membangkang tidak menyatakan takluk
tetapi kebanyakan tetap tinggal di bukit-bukit. Pasukan-pasukan militer VOC
tidak menunjukan peranan yang hebat dalam perang tahun 1740-1743. Demikian pula
pada tanggal 10 Agustus 1741, Martanda Varma, raja Hindu kecil dari Travancore,
mengalahkan pasukan Belanda dalam pertempuran Colachel, hingga VOC terpaksa
membuang gagasan untuk mendesakkan monopoli merica di Malabar.
Keadaan di persatuan
provinsi-provinsi Belanda selama dasawarsa ke empat abad kedelapan belas juga
tidak sangat meyakinkan. Bersamaan dengan itu, posisi keuangan VOC semakin
menjadi gawat sesudah tahun 1736, dengan pinjaman-pinjaman yang berat guna
mempertahankan politik kebijaksanaan dividen tahunannya yang dinggi, dan untuk
membayar perlengkapan-perlengkapan tahunan armada Hindia. Kalaupun kompeni
masih bisa membuat keuntungan yang banyak pada sebagian besar komoditi yang
dijualnya di Eropa, keuntungan-keuntungan dari perdagangan antarpelabuhan di
Asia ini dialihkan menjadi kerugian dalam beberapa cabang yang dulunya maju.
2.
Runtuhnya VOC
Penyebab keruntuhan VOC
sebenarnya menjadi tanda tanya besar dan menjadi suatu perdebatan dikalangan
para Sejarahwan. Keruntuhan akibat korupsi ternyata tidak sepenuhnya bisa
dijadikan sebagai bukti yang benar-benar mewakili keruntuhan VOC. Dari
perdebatan ini kemudian muncul suatu anggapan dari J.C. van Leur dan W.
Coolhaas yang menyebutkan bahwa korupsi bukanlah faktor utama penyebab
keruntuhan VOC. Kemudian ditegaskan kembali bahwa kongsi dagang Inggris (EIC)
pun ternyata mengalami pergulatan korupsi yang hebat di dalam birokrasinya.
Hal-hal seperti korupsi, penyuapan, petronase, dan sejenisnya ternyata sudah
popular pada zaman itu.
Kasus korupsi di dalam kongsi dagang ini
sebenarnya sudah dicurigai oleh para badan pengurus walaupun para abdi yang
mengurus kongsi dagang di wilaayah Asia telah mengirim surat tentang kinerja mereka.
Sehingga van Diemen dan dewannya mengatakan kepada Hareen XVII bahwa “Dari
sini, pastilah tuan-tuan dapat menilai bagaimana tuan-tuan dilayani di Asia,
dan betapa banyaknya orang kita yang ingin merampoki kompeni sebagai
musuh. Korupsi ternyata sebagai imbas dari rendahnya gaji pegawai.
Hal ini banyak terjadi di daerah Bengala dan Jepang, sehingga dari keadaan ini
menjadikan sebagian besar barang-barang yang dibawa berlayar dari tempat ini
lebih banyak barang selundupan.
Sebenarnya suatu langkah pencegahan dengan
menurunkan para syahbandar, inspektur pabean, dan pejabat-pejabat lain yang
sengaja di angkat sudah dilakukan akan tetapi pada prakteknya mereka pun
berkomplot dan membiarkan tindak korupsi ini dengan memperoleh imbalan. Semua
usaha pencegahan bertahap pun tidak berjalan dengan lama, hanya sebentar hilang
kemudian muncul kembali. Namun suatu kebijakan besar dari Hendrik Zwaardekroon,
seorang Gubernur Jendral yang menghukum mati Pieter Elberveld dan pejabat
lainnya yang menyelundupkan rempah-rempah. Selain itu juga dia memberikan
hukuman ringan pada pejabat tinggi, membebastugaskan beberapa pegawai yang
terlibat korupsi.
Korupsi di dalam tubuh VOC sepertiNya sudah
menjadi tradisi dan kebiasaan karena setiap pejabat yang pengsiun dari kongsi
dagang ini akan menjadi kaya raya. Begitu banyak kasus-kasus penyelundupan yang
dilakukan oleh para pejabat-pejabat VOC. Hal ini juga tidak lepas dari bantuan
pihak-pihak luar yang dengan sengaja membantu dan terlibat dalam hal ini. Tidak
terlepas pula disini peran kerjasama dari aristokrat Jawa dan pejabat-pejabat
daerah atau regent(Bupati). Buktinya terjadi suatu “kontrak-kontrak
korespondensi” dengan semua Persatuan Provinsi-provinsi Belanda. Sering sekali
Heren XVII dan Mahkamah Pengurus melakukan pengangkatan pejabat dinasnya di
Asia berdasarkan koneksi keluarga (nepotism), pengaruh dan patronase.
Korupsi di dalam tubuh VOC ternyata telah terjadi
semenjak terbentuknya VOC bukan pada akhir-akhir masa tugasnya. Menurut
J.C van Leur kemunduran dan kemerosotan VOC diperlihatkan juga pada saat
menghadapi perlawanan-perlawanan dari daerah-daerah di Indonesia khususnya di
Pulau Jawa (Jawa Tengah). Personel militer VOC menunjukan ketidakberdayaan
mereka dalam menghadapi serangan dari para pejuang Indonesia. Disini mulai
terlihat faktor utama yang menyebabkan kemunduran VOC. Faktor militer dan korps
perwira yang dimiliki VOC ternyata sangat kurang dalam segi kualitas. Seperti
ada suatu anggapan bahwa “ Serdadu bayaran Belanda adalah makhluk terkutuk yang
sama sekali tidak berguna bagi VOC. Hal ini ternyata dibantah oleh Warren
Hastings seorang Gubernur Jendral Belanda.
Van Leur mengatakan bahwa buruknya militer
Belanda khususnya dalam angkatan laut merupakan faktor utama penyebab
kemunduran VOC. Hal ini dibuktikan oleh fakta-fakta bahwa terdapat keluhan
tentang pelaut yang tidak berpengalaman dalam kapal-kapal Hindia. Selain itu
juga banyak prajurit yang sakit di dalam kapal dan kemudian meninggal. Hal ini
membuktikan kondisi fisik dari prajurit VOC sangat buruk. Kurang disiplinnya
VOC dalam merekrut para tentara dan prajuritnya menjadikan mereka kesulitan
dalam mengarungi samudra untuk membawa barang. Selain itu terdapat fakta yang
memperkuat bahwa buruknya angkatan laut dan awak kapal VOC menjadi penyebab
utama kehancuran VOC yakni banyaknya kapal-kapal yang karam dan hilang saat
pelayaran.
Dikarenakan awak kapal yang buruk kondisi fisik
dan kurang berpengalaman dalam mengarungi samudra maka mereka tidak bisa
menghadapi kondisi lautan saat badai dan cuaca buruk. Disebutkan bahwa ada
beberapa kapal VOC yang hilang dan beberapa lagi gagal berangkat. Kapal Amsterdam
misalnya gagal berangkat dua kali karena awak kapalnya banyak yang sakit
dan kehilangan semangat. Kapal ini ibaratnya peti mati yang terapung karena
setiap hari tidak kurang lima prajurit mati karena penyakitnya. Yang lebih
tragis lagi adalah hilangnya kapal Akerendam bersama semua awak kapal
dan barang yang diangkutnya. Keadaan lautan yang keras dan penuh rintangan
ternyata tidak dapat dihadapi oleh para awak kapal VOC.
Sama halnya dengan yang dialami oleh kapal Hollandia
yang juga hilang dalam perjalanannya. Walaupun ketiga kapal yang disebutkan
tadi merupakan kapal-kapal yang kuat dan kokoh yang dimiliki VOC akan tetapi
tidak ditunjang oleh awak kapalnya. Kapal-kapal ini pun ternyata bermuatan mata
uang perak dan juga mata uang emas yang nantinya akan dikirimkan ke beberapa
daerah jajahan sebagai pasokan dana. Khusus untuk kapal Hollandia membawa
beberapa orang yang kedudukannya penting seperti saudara laki-laki Gubernur
Jendral Baron van Imhoff dan dua orang wanita keluarga bangsawan. Sebenarya
mata uang perak dan emas itu nantinya akan dibawa ke Hindia-Timur dan sebagian
akan ditukar dengan beberapa jumlah barang dagangan kemudian akan dijual
kembali di Eropa. Walaupun ada sebagian kecil dari barang dagangan digunakan
oleh pribadi.
Dari insiden hilangnya dan karamnya beberapa
kapal milik VOC ini tentunya memberikan kerugian yang besar karena banyak mata
uang yang hilang dan barang dagangan yang tidak diperoleh. VOC memang sangat
memprioritaskan mata uangnya di seluruh kegiatannya baik itu mata uang perak
dan emas. Sekitar tahun 1644-1645 mata uang yang digunakan untuk transaksi
dalam tubuh VOC terlampau banyak sehingga hal ini menyebabkan kekacauan dalam
peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC. Misalnya saja Real delapan
Spanyol dan Amerika-Spanyol, mata uang perak dan emas, ducat-dukat emas
Venesia, Hungarian dan Belanda. Belum juga termasuk mata uang yang berlaku di
Asia seperti rupee emas dan perak, abbasi dan larin, koban
dan oban, dan sebagainya.
Pengiriman lantakan emas dan perak dari Belanda
ke Batavia pun mengalami fluktuasi tergantung keadaan yang terjadi pada
perdagangan yang dilakukan VOC. Sekitar akhir abad ke tujuh belas, VOC
memperoleh keuntungan dengan mendapatkan sejumlah besar emas dari Negara Jepang
atau yang pada saat itu disebut “ Negeri Tertutup”(sakoku) artinya
tidak dapat dimasuki oleh saingan-saingannya.
Pada masa pemerintahan dan kejayaannya VOC memang
menjalin hubungan baik dengan Jepang. Hal ini ditunjukan dengan hubungan dalam
kebudayaan dan kecendekiaan di samping juga dalam perdagangan. Dikatakan juga
bahwa kedatangan dan kehadiran “Si Rambut Merah” (orang Belanda/Eropa) di
Deshima dan kapal-kapal Hindia-Belanda di pelabuhan memberikan ilham banyak
untuk apa yang disebut Nagasaki-e, yakni cetakan-cetakan berwarna yang
terbuat dari ukiran-ukiran kayu. Para pelacur juga menjadi alternative bagi
Jepang dalam menjalin hubungan dengan Belanda.
Dominasi VOC di Indonesia khususnya di pulau Jawa
jelas sangat terlihat akan tetapi di Jawa Tengah posisi VOC tergantung dari
pemisahan yang berlanjut antara keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah
Melayu, kegagalan VOC dalam mencegah ekspansi yang dilakukan oleh Bugis
di Selat Malaka semakin menyulitkan kedudukan VOC di Indonesia Selain itu
kedudukan VOC di Kalimantan Barat juga sama gawatnya. Bukan hanya di Indonesia
tetapi di daerah anak benua India pun kedudukan VOC terdesak oleh pemerintahan
Inggris seperti di Srilanka, India, dsb. Perang antara Belanda-Inggriss terus
berlangsung dalam perebutan kekuasaan atas wilayah jajahan. Pada perebutan
wilayah Padang (Sumatra Barat) Inggris berhasil merebutnya tanpa perlawanan.
Dan kemudian atas keadaan ini dibuatlah perjanjian Paris yang membebaskan
Inggris berlayar di wilayah Indonesia.
Pada Perang tahun 1780-1783 armada maritime VOC
menunjukan kembali kelemahannya sehingga hal ini membuat Haren XVII meminta
bantuan pada angkatan laut Staten General. Para abdi dan awak kapal
Jan Kompeni menunjukan kelesuan dalam menjalani pertempuran dan perang. Tambah
lagi armada laut yang di miliki Inggris jauh lebih kuat baik dari segi Awaknya
maupun teknologinya. Kehidupan sosial yang hedonis dan glamour dengan
melakukan Pesta-pesta besar di Batavia juga menjadi faktor terlalu cerobohnya
birokrasi dan sistem administrasi VOC. Permasalahan yang dialami VOC lebih
banyak terjadi pada abad delapan belas karena tidak loyalnya para armada dan
awaknya pada VOC sendiri.
B.
Perlawanan Rakyat Terhadap Bangsa Barat
1.
Reaksi Malaka dan Aceh Terhadap Portugis dan Belanda
Hubungan
orang Indonesia dengan orang Asia lainnya telah berlangsung sejak lama.
Hubungan itu tidak saja melalui perdagangan, melain kan juga melalui pergaulan
politik antar-kerajaan. Pada abad 16, beberapa kerajaan Islam di Indonesia dan
Asia Tenggara juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan-kerajaan Islam
yang terkemuka di Asia, diantaranya ialah dengan kemaharajaan Turki. Memang
Turki waktu itu merupakan salah satu negara Islam yang terkemuka; kebesaran
Turki terkenal sampai di Indonesia pada waktu itu.
Berbeda
dengan orang Asia, kehadiran orang Portugis di perairan Malaka menimbulkan
kecurigaan. Orang-orang Portugis datang tidak hanya untuk berdagang, tetapi
juga untuk penyebaran agama. Mereka datang bukan atas nama perorangan,
melainkan atas nama Negara. Karena itu tindakan-tindakannya lebih bersifat
politik dari pada sifat dagangnya. Kapal-kapalnya juga bukan kapal dagang
tetapi lebih berupa kapal perang. Tiap kapal dilengkapi perlengkapan untuk
pertempuran. Mereka pertama kali datang dipimpin oleh Diego Lopez de Sequeira
diperintahkan untuk melakukan perjanjian dengan pembesar Malaka. Yang sangat di
inginkan adalah izin perdagangan Sultan Mahmud Syah dan rakyatnya menolak
kedatangan mereka. Karena tahu Portugis ingin menguasai perdagangan lewat
Malaka. Orang-orang Portugis pun diserang.
Serangan
rakyat Malaka terhadap orang Portugis dijadikan alasan Albuquerque untuk
mengadakan serangan balasan. Sebelumnya Mahmud Syah telah melakukan persiapan.
Albuquerque beserta pasukannya tiba di Malaka pada tahun1511. Ketika kedua
belah pihak tidak mau berunding lagi, perang meletus. Perang berkobar sangat
dahsyat sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Keberanian
prajurit-prajurit Malaka tidak mampu menghadapi persenjataan Portugis yang
lenih modern. Sultan Malaka terpaksa menyingkir ke pulau Bintang. Untuk
mempertahankan kedudukannya Portugis membangun benteng yang kuat di kota Malaka
itu. Penyebaran agama segera di lakukan sejalan dengan ekspansi ekonomi.
Sekalipun
Malaka telah diduduki oleh Portugis. Perlawanan orang Malaka tidak pernah
berhenti. Ada perlawanan yang di pimpin oleh seorang Jawa yang bernama Katir.
Katir segera melancarkan serangan-serangan. Katir pernah juga minta bantuan kepada
ke Jepara. Pada tahun 1513, Pati Unus mengirim bantuan dari Jepara sebanyak 100
kapaldan 10.000 prajurit untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi dalam
pertempuran itu armada Jawa mengalami kekalahan.
Berita-berita
di dudukinya Malaka oleh Portugis sebelumnya telah sampai pula ke Pasai. Oleh
sebab itu kedatangan Portugis di Pasai disambut dengan antipasti. Pasai di
tinggalkan oleh para pedagang yang lalu mencari mencari tempat yang lain.
Daerah Aceh yang semula menjadi wilayah Pedir. Perdagangan yang semula banyak
singgah di Malaka, kemudian memusatkan kegiatannya di Aceh.
Pasai
kemudian di kuasai oleh Aceh, sehingga orang Portugis kehilangan tempat
berdagang. Kemudia Aceh bersekutu dengan Johor untuk melawan Portugis di
Malaka. Namun Aceh dan Johor mengalami kekalahan, karena perlengkapan dan kapal
Portugis lebih Unggul daripada yang mereka miliki. Dengan demikian Portugis
dapat mempertahankan kedudukannya di kota Malaka, sampai orang Belanda
merebutnya pada tahun 1641. Di luar kota ini, yaitu di daerah Semenanjung
Malaya dan pulau Sumatera, orang Portugis belum dapat memperluas pengaruhnya.
Belanda
menganggap perlu pula untuk mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa yang
ada di Semenanjung Malaya untuk mendapatkan monopoli beberapa jenis bahan
perdagangan seperti timah. Perjanjian yang demikian itu berhasil diadakan
antara lain dengan Sultan Kedah pada tahun 1642. Dalam persyaratan perjanjian
itu antara lain disebutkan bahwa orang Jawa, Perak, Kedah, Kurmandel, Bengal
dan lainnya, tidak boleh berdagang di tempat itu bila tidak seijin orang
Belanda
Aceh
sebagai kerajaan pantai pada waktu itu masih mampu mempertahankan diri terhadap
desakan orang Barat. Perdagangan lada masih di kuasainya untuk waktu yang lama.
Orang Aceh membawa lada itu sampai ke India dan Laut Merah. Orang Aceh pada
waktu itu telah di kenal sebagai prajurit yang ulung. Orang Portugis mengakui
ketangkasan prajurit Aceh yang selama seabad mengganggu keamanan lalu lintas di
Selat Malaka bagi orang Barat.
Pada
pertengahan abad ke -16 Aceh merupakan kekuatan yang cukup mengancam Portugis
yang bercokol di Malaka. Orang Portugis tahu bahwa Aceh memiliki hubungan erat
dengan Turki. Banyak bantuan militer yang dikirimkan oleh Turki ke Aceh. Pada
tahun 1566 atau 1567, Aceh mendapat bantuan 500 orang Turki terdiri dari
ahli-ahli senjata api, penembak-penembak dan ahli tehnik lainnya. Selain dari
Turki, Aceh juga memperoleh bantuan dari tempat lain, misalnya dari Kalikut dan
Jepara. Dengan bantuan-bantuan itu Aceh mampu mengimbangi kekuasaan Portugis di
Malaka.
Orang
Portugis juga pernah mencoba mengadakan blokade terhadap Aceh untuk mencegah
hubungannya dengan luar. Akan tetapi sebaliknya Aceh-pun mampu mengadakan
penyerangan dan pengepungan terhadap mereka. Keinginan Portugis untuk menyerang
Aceh secara besar-besaran tidak dapat di laksanakan karena mereka tidak
memiliki armada yang cukup besar. Lebih-lebih pada akhir abad ke-16 keadaan di
Eropa menyebabkan orang portugis tidak mampu membendung kegiatan perdagangan
rempah-rempah oleh Aceh ke Laut Merah.
Pada
masa pemerintahan ‘Alauddin Ri’ayat Syah, Aceh mengalami kesulitan, karena
bersaing dengan kerajaan Johor. Pada waktu itu Aceh tidak mempunyai kekuatan
untuk melakukan serangan ke Malaka. Baru kemudian setelah Sultan Iskandar Muda
memerintah (1607-1636) kemampuan perangnya meningkat lagi, sehingga mampu
mengembalikan daerah-daerah yang pernah lepas dari pengaruhnya, ketika Aceh
mengalami kemunduran selama akhir abad ke-16. Di bawah Iskandar Muda malahan
berhasil memperluas daerahnya ke Sumatra Timur dan Semenanjung Melayu. Selain
itu Aceh juga menguasai daerah Sumatra Barat yang menghasilkan lada dan emas.
Bahan perdagangan itu merupakan bahan yang berharga karena banyak di cari oleh
pedagang dari Gujarat, Cina , Belanda maupun Inggris. Untuk menanamkan jalan
perdagangan itu Iskandar Muda menempatkan pengawas-pengawasnya di
pelabuhan-pelabuhan Tiku atau Pariaman. Mereka itu kebanyakan adalah para
panglima-panglimanya, yang di angkat untuk mengurusi soal pengawasan tersebut
Di
antara pedagang-pedagang asing itu. Aceh lebih menyukai orang-orang Gujarat,
yang datang ke daerah itu dengan membawa bahan pakaian. Pedagang-pedagang asing
lainnya paling-paling hanya sampai di Kutaraja. Lebih-lebih terhadap pedagang Eropa,
Aceh tidak begitu suka. Cornelis de Houtman pada tahun 1599 dan James Lancaster
pada tahun 1602 pernah di ijinkan untuk singgah di Aceh, karena Aceh
membutuhkannya sebagai sekutu melawan Portugis dan Johor. Orang Inggris pernah
juga mendapatkan ijin untuk berdagang di beberapa pelabuhan di Aceh tetapi
tidak lama. Setelah itu orang Belanda juga mendapat ijin, tetapi dengan syarat
yang berat. Pendek kata Iskandar Muda memberikan ijin dagang kepada Belanda
untuk beberapa tahun. Aceh mulai mengalami kemunduran setelah masa pemerintahan
Iskandar Muda berakhir dan setelah Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis
2.
Maluku Menghadapi Portugis, Spanyol, dan Belanda
Pada
tahun 1519 orang Spanyol mengirimkan kapal-kapal ke Maluku melalui rute Barat.
Kapal-kapal Spanyol itu dipimpin oleh Fernao Magelhaes. Setalah mengarungi
Samudra Atlantik dan Pasifik, mereka sampai di Mactan di kepulauan yang
kemudian di sebut Filipina, sesuai dengan nama rajanya, yakni Felipe. Malang
bagi Magelhaes, setelah mendarat di Mactan ia terbunuh dalam suatu pertempuran
dengan penduduk. Perjalanan menuju Maluku, di teruskan oleh anak buahnya, yang
tiba di Maluku pada tahun 1521. Pada waktu itu orang Portugis telah lebih
dahulu berada di Maluku.
Orang
Spanyol dan Portugis yang sedang bersaing itu tiba ketika dua kerajaan
Indonesia di sana sedang bermusuhan, yakni Ternate dan Tidore. Untuk memperoleh
sekutu Ternate menerima baik kedatangan orang Portugis. Malahan orang Portugis
diperkenankan mendirikan benteng di Ternate. Sebaliknya, Tidore menerima baik
kehadiran orang Spanyol. Tetapi Spanyol harus mundur dari Maluku berdasarkan
perjanjian Tordesilas.
Pertikaian
itu merugikan Ternate dan Tidore sendiri. Pengaruh Portugis menjadi lebih
besar. Portugis berhasil memaksakan kehendaknya untuk monopoli bahan
rempah-rempah. Sebaliknya orang Maluku kehilangan kebebasan untuk melakukan
perdagangan dengan siapa saja yang mereka kehendaki untuk melakukan perdagangan
dengan siapa saja yang mereka kehendaki. Sifat kasar dan motif penyebaran agama
dari Portugis menimbulkan kebencian orang Maluku.
Ternate
yang semula menjadi sekutu Portugis akhirnya juga memusuhi mereka. Dalam suatu
pertempuran orang Ternate berhasil membakar benteng Portugis. Perlawanan juga
timbul dari orang-orang Tidore dan Bacan terhadap orang Portugis. Maka tepatlah
apabila di katakan bahwa pada waktu itu seluruh Maluku bangun melawan Portugis.
Secara berulang kali pertempuran antara kedua belah pihak terjadi. Pada tahun
1577, rakyat Ternate berhasil mengusir sama sekali orang Portugis dari
wilayahnya. Orang Portugis terpaksa pindah ke pulau lain, yang tidak jauh dari
Tidore. Tetapi di tempat itupun pada akhirnya orang Portugis diganggu
terus-menerus oleh orang Jawa dan Melayu yang biasa mengangkut cengkeh dari
sana, di samping oleh orang-orang Ternate sendiri. Ketika Portugis dan Spanyol
di persatukan di bawah seorang raja (1580), orang Spanyol yang berkedudukan di
Filipina berusaha untuk merebut kembali daerah Ternate. Tidak lama kemudian
datanglah orang Belanda ke Maluku, dan berhasil menduduki benteng Portugis di
Amboina pada tahun 1605. Kehadiran orang-orang Belanda di Maluku itu tidak saja
mengandung pertikaian dengan sisa-sisa orang Portugis yang masih ada di daerah
itu, tetapi juga dengan orang Spanyol. Pertempuran-pertempuran yang terjadi di
Maluku antara orang Belanda dan Spanyol. Tetapi baru pada tahun 1663 Spanyol
mengundurkan diri dari Maluku untuk memperkuat kedudukannya di Manila karena
merasa terancam oleh Koxinga yang telah berkuasa di Taiwan
Setelah
orang-orang VOC (kompeni) tiba di Maluku, mereka segera berusaha melaksanakan
maksudnya untuk menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah. Oleh sebab itu
kehadirannya itu mengundang reaksi yang sama dari orang Maluku seperti yang di
lakukan terhadap orang portugis dan Spanyol. Pedaganag-pedagang Jawa dan Melayu
yang telah menjadi langganan dalam pengangkutan cengkeh dari daerah ini
berdasarkan prinsip perdagangan bebas juga bersikap sama dengan penduduk
setempat. Perlawanan berkobar di mana-mana. Pada tahun 1635-1646 rakyat Hitu
melakukan perlawanan terhadap Kompeni di bawah pimpinan Kakiali dan Telukabesi.
Perlawanan juga terjadi secara meluas di daerah Amboina sampai ke Ternate pada
tahun 1650. Perang itu dipimpin oleh Saidi. Kompeni juga harus menghadapi
serangan-serangan gerilya dari rakyat Jailolo pada tahun 1675. Setelah Kompeni
berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, barulah ia dapat menegakkan
monopoli perdagangan rempah-rempah dan menanamkan kekuasaannya. Sekalipun
demikian tidak berarti perlawanan rakyat berhenti.
3.
Banten dan Mataram menghadapi Belanda
Pada
abad ke-16 Banten sebagai kerajaan Islam telah mempunyai pelabuhan yang ramai
didatangi oleh pedagang-pedagang dari berbagai tempat. Terutama setelah Malaka
jatuh ke tangan Portugis, pelabuhan Banten bertambah ramai. Pedagang-pedagang dari
India, Persia dan Arab tidak lagi singgah ke Malaka, tetapi langsung
memindahkan jalur pelayarannya ke Banten.
Ketika
orang Belanda untuk pertama kalinya datang di Banten pada tahun 1596 mereka di
curigai. Tetapi kemudian mereka diterima baik setelah mereka menerangkan bahwa
maksud kedatangannya hanyalah akan berdagang saja. Perjanjian persahabatn
antara penguasa di Banten dan Belanda pernah diadakan. Belanda di ijinkan
berdagang dengan bebas di Banten. Tetapi suasana persahabatan itu tidak
berlangsung lama, karena di antara orang-orang Eropa yang berdagang di Banten
timbul persaingan. Orang Belanda kemudian bersikap kasar sehingga menimbulkan
keonaran. Akibatnya beberapa orang Belanda di tangkap oleh penguasa Banten. Di
antaranya termasuk juga de Houtman sendiri segabai pemimpinnya. Orang-orang
Belanda membalas dengan menembaki Banten dari kapal-kapal mereka, sehingga
menimbulkan suasana permusuhan. Setelah memberi uang tebusan untuk membebaskan
teman-temannya yang di sekap di Banten, mereka kemudian pergi meninggalkan
Banten
Pada
masa berikutnya orang-orang Belanda datang kembali ke Banten untuk menjalin
hubungan dagangnya. Tetapi karena orang Belanda, Portugis, dan Inggris ada
persaingan satu sama lain, maka akibatnya masing-masing mencoba untuk merusak
hubungan-hubungan lawannya dengan Banten. Portugis mula-mula berhasil merusak
hubungan antara Belanda dan Banten. Demikian pula Belanda juga mencoba merusak
hubungan antara Banten dengan orang Eropa lainnya, dan juga dengan kerajaan
lain. Jan Pieterszoon Coen, yaitu pemimpin VOC di Indonesia telah berhasil
mengadu-domba Banten dengan Jayakarta. Demikian pula hubungan antara Banten
dengan orang Inggris dapat dirusak. Sering terjadi pula pertentangan antara
Banten dengan Kompeni.
Pertentangan
memuncak setelah Kompeni menduduki Jayakarta pada tahun 1619. Pecahlah
permusuhan terbuka antara Banten dengan Kompeni. Perlawanan Banten ditingkatkan
setelah Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651.
Pada tahun 1656 sejumlah kapal Kompeni berhasil dirampas oleh orang Banten, dan
dilakukan pula pengrusakan perkebunan tebu milik Kompeni. Akhirnya dengan susah
payah Kompeni berhasil menundukkan Banten setelah mereka berhasil mempengaruhi
putra mahkota supaya melawan ayahandanya pada pihak Kompeni. Selanjutnya Sultan
Ageng Tirtayasa dapat di tawan oleh Kompeni. Pada tahun 1682 putra mahkota yang
telah menjadi Sultan dipaksa untuk menandatangani penyerahan kekuasaan
daerahnya kepada VOC.
Usaha
menanamkan monopoli perdagangan dan kekuasaan Kompeni juga membangkitkan reaksi
dari Mataram di bawah Sultan Agung. Pada tanggal 18 Agustus 1618 kantor dagang
VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan itu merupakan reaksi pertama yang
dilakukan untuk memperkuat kedudukannya di Jayakarta (Batavia), ketegangan
antara Mataram dan Kompeni makin meningkat antara tahun 1620 dan 1628.
Pengepungan
itu tidak berhasil mematahkan orang Belanda karena kesalahan dalam persiapan.
Perbekalan yang sudah disiapkan di berbagai tempat di pantai utara Jawa, tidak
dilindungi dari laut, sehingga dapat dibinasakan oleh armada Belanda. Karena
itu tentara ekspedisi Mataram menderita kelaparan, sehingga pengepungan
terpaksa diurungkan, karena para prajurit sudah tidak berdaya lagi. Ketegangan
itu akhirnya memuncak dengan terjadinya pengepungan besar-besaran yang
dilakukan oleh Mataram terhadap Kompeni di Batavia pada bulan Agustus 1628,
Usaha
pengepungan keuda terhadap Batavia juga mengalami kagagalan. Hubungan antara
VOC dan Mataram tetap buruk sampai meinggalnya Sultan Agung pada tahun 1645,
dan masing-masing pihak tidak dapat menghancurkan pihak lawannya. Juga
sesudahnya Mataram mengadakan perlawanan, terutama di bawah pimpinan Trunojoyo
(1674-1678).
4.
Banjar dan Gowa Menghadapi Kehadiran Belanda
Banjar
sebagai suatu kerajaan telah berdiri pada sekitar pertengahan abad ke-16.
Pengaruh Jawa pada kerajaan Islam kini besar. Selain sistem pemerintahan,
beberapa unsure budaya Jawa diambil pula oleh kerajaan yang terletak di pantai
Kalimantan Selatan ini. Daerah pengaruh Banjar meliputi Sukadana, Kotawaringin
dan Lawei. Semula kerajaan ini harus mengirimkan upeti ke Demak. Setelah Demak
mundur, pengiriman upetinya berhenti, sekalipun hubungannya dengan Jawa tetap
berlangsung. Pertentangan sekali-sekali juga pernah terjadi antara kerajaan
Bandar dengan Tuban dan Surabaya yang hendak memaksakan kekuasaannya terhadap
Banjar. Demikian juga dengan Mataram. Tetapi pertikaian ini kemudian hilang dan
terjadi hubungan yang baik, ketika VOC mulai muncul.
Di
pelabuhan kerajaan Banjar tersedia bahan perdagangan hasil-hasil bumi setempat,
seperti kapur barus, berlian, batu bezoar, dan juga lada. Orang Portugis dan
Belanda pada akhir abad ke 18 juga datang ke daerah itu. Pada masa berikutnya
ancaman Kompeni di daerah lain juga dicoba dilakukan di Banjar. Setelah
berhasil membuat kontrak untuk melakukan perdagangan dengan Raja Banjar,
Kompeni mulai melakukan perluasan pengaruhnya dengan jalan ikut campur dalam
urusan rumah tangga kraton Banjar. Akibatnya orang Belanda dapat mengambil di air
keruh. Kompeni berhasil memaksakan kehendaknya untuk memonopoli perdagangan
lada setelah berhasil mencampuri pertentengan yang terjadi yang terjadi dalam
negeri itu. Reaksi-reaksi mulai timbul, karena kebebasan rakyat dalam
perdagangan terancam. Keadaan yang sama juga terasa di kerajaan Gowa yang
terletak di daerah Sulawesi Barat.
Kerajaan
Gowa menempati kedudukan yang baik dalam jalur perdagangan yang datang dan
pergi dari daerah Maluku. Dalam lalu lintas perdagangan itu Gowa menduduki
kedudukan sebagai Bandar transito bagi kapal-kapal yang mengangkut bahan
perdagangan yang berlayar ke ke atau dari Maluku. Oleh sebab itu Kompeni
mengadakan hubungan dagang dengan Raja. Dan disanapun mereka berusaha untuk
membujuk Raja agar supaya melarang orang asing lain berdagang. Dengan kata
lain, mereka menuntut kedudukan monopoli. Seperti halnya di Banjar maupun di
tempat lain, Kompeni mengadakan paksaan-paksaan untuk mencapai kehendaknya.
Kapal-kapal orang Makasar di laut. Gowa dikepung, bajak-membajak antara kedua belah
pihak terjadi, baik di laut maupun di darat. Akhirnya perang terbuka pecah pada
awal tahun 1654 dan berlangsung sampai 1655.
Dalam
permusuhannya dengan Gowa itu, Kompeni juga menggunakan taktik lamanya, yaitu
mengambil kesempatan dalam kericuhan yang ada dalam negeri itu. Aru Palaka yang
sedang bersengketa dengan Gowa dibantu oleh Kompeni, sehinnga Kompeni memeroleh
sekutu di pihak pribumi. Perang pecah kembali dalam bulan Juli 1667. Kompeni
menyerbu Gowa di bawah pimpinan Speelman. Pecahlah pertempuran-pertempuran
sengit sehingga banyak korban jatuh, bahkan Speelman sendiri hamper saja tewas.
Akhirnya Gowa harus mengakui keunggulan senjata Kompeni dan menandatangani
perjanjian Bongaya yang merugikan bagi orang Makasar
Orang
Makasar yang tidak tahan di bawah telapak Kompeni kemudian banyak yang
meninggalkan Gowa untuk mengembara serta memberikan bantuan kepada
rakyat-rakyat di daerah lain yang sedang melawan Kompeni. Mereka ini antara
lain dipimpin oleh Karaeang Bontomaranmu dan Kareang Galesung. Mereka itulah
yang ikut membantu Trunojoyo dari Madura yang melawan Kompeni di Jawa.
Daftar
Pustaka :
Notosusanto,
Nugroho, dkk. 1992. Sejarah Nasional
Indonesia 2. Jakarta: Monora.
Dumadi, Sagimun Mulus.
1975. Sultan Hasanudin menentang V.O.C. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Boxer, C.R. 1983. Jan Kompeni “Sejarah VOC dalam Perang dan
Damai 1602-1799”. Jakarta: Sinar Harapan.
Vlekke, Bernard H.M.
2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Taylor, Jean Gelman.
2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta:
Masup Jakarta.
--------. 2014. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
A, Musfita S.Pd, dkk.
2014. Sejarah Indonesia. Klaten:
Usaha Mandiri.
Wardaya. 2009. Cakrawala Sejarah. Jakarta: PT. Widya
Duta Grafika.
Endang, Siti, dkk.
2012. Sejarah. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Farid, Samsul. 2011. Sejarah Indonesia. Jakarta: Rama Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar